Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jurnalisme Vuvuzela

Kompas.com - 07/07/2010, 04:45 WIB

EFFENDI GAZALI

Panitia mana pun pasti akan menolak menyelenggarakan kongres besar di Afrika Selatan di tengah perhelatan Piala Dunia!

Namun, tidak demikian Guy Berger, Direktur Pendidikan Jurnalisme Rhodes University. Dia merasa fenomena vuvuzela bisa jadi daya tarik pendidik jurnalisme! Jadilah pelaksanaan ”World Journalism Education Congress” kedua di Grahamstown, 75 menit berkendara dari Porth Elizabeth, tempat di mana Wesley Sneijder dan rekan-rekan membungkam pasukan ”Samba”, 2-1. Memang, ada sedikit modal, Rhodes University memiliki African Media Matrix, pusat media yang cukup punya nama.

Namun, nama saja tidak cukup. Berger menetapkan pembukaan kongres yang diikuti lebih dari 300 peserta dari 40 negara ini pas pada hari istirahat pertandingan jelang semifinal. Jurus ini mujarab. Sebagian peserta datang lebih awal ke Afsel dan melanglang buana dulu ke aneka stadion. Saya sendiri sudah singgah ke beberapa pertandingan perempat final sebelum menuju kongres ini. Peserta kongres pun ternyata banyak yang sudah mengantongi tiket laga final di Johanesburg, 11 Juli mendatang.

Di antara divisi-divisi kajian, terdapat kelompok unik yang seakan diadakan untuk menjawab keriuhan Piala Dunia. Ada kajian Sport Journalism yang belum pernah ada sebelumnya. Tentu terdapat pula kelompok kajian mutakhir seperti The Ultimate Journalism Education, yang saya ikuti bersama Deddy Mulyana (Universitas Padjadjaran), sebagai wakil Indonesia.

Pendidikan jurnalisme?

Pertanyaan pertama yang membelalakkan mata di tengah kelompok kajian serius itu ternyata amat sederhana, tetapi tak terselesaikan hingga satu sesi berakhir. Apa yang harus diajarkan tentang jurnalisme sekarang ini? Wakil beberapa negara maju dengan cepat mengatakan, pendidikan jurnalisme harus mengajarkan terus-menerus kegiatan mengawasi bagaimana pemerintah menjalankan kekuasaannya. Beberapa pakar yang diturunkan untuk mendukung kelompok ini menambahkan, pendidikan jurnalisme harus mengajarkan bagaimana menolak Public Relations (Kehumasan) yang bisa disederhanakan dalam inisial BS (sebuah singkatan yang artinya ”omong kosong”).

Sebagian wakil negara berkembang mulai terpancing membantah bahwa jurnalisme di negeri mereka masih berlangsung baik dengan basis etika dan nilai- nilai budaya. Seorang teman dari Brasil menambahkan bagaimana di negerinya masih bisa ditemui koran dengan rata-rata lima berita investigatif yang mendalam setiap hari. Sementara seorang pendidik dari Australia mengeluh bagaimana mempertahankan jati diri seseorang yang belajar jurnalisme. Pada kenyataannya, orang lain yang menggunakan media sosial, seperti Facebook atau Twitter, sering lebih mampu menyampaikan berita mendalam dan lebih investigatif.

Deddy Mulyana mencoba menampilkan sebuah model piramida untuk membantu memberi arahan. Pada bagian atas piramida diletakkannya unsur Skill (Keahlian), lalu di bagian tengah Knowledge and Competence (Pengetahuan serta Kompetensi), dan sebagai dasarnya adalah Moral, Ethics, Cultural Values (Moral, Etika, Nilai-nilai Budaya Lokal). Tanggapan malah semakin ramai. Sebagian mengatakan unsur Bahasa, serta Hukum Positif, jauh lebih penting daripada Moral serta Etika. Seorang wakil tuan rumah, Afsel, malah khawatir semua keahlian yang diajarkan kepada seorang jurnalis tiba- tiba saja bisa berpindah ke pihak berlawanan ketika sebuah institusi pendidikan sudah tak mampu lagi membayar sesuai tuntutan pasar. Artinya, pasar berbicara lebih nyaring ketimbang unsur-unsur ideal tersebut.

Saya mencoba menambahkan model disertasi saya saat melakukan riset mengenai apa yang harus dilakukan jurnalis. Waktu saya meneliti kehendak aneka pemangku kepentingan di bawah supervisi Denis McQuail, terasa betul apa yang diagung-agungkan tentang jurnalisme telah berubah. Pendidikan jurnalisme harus dipahami sebagai sebuah upaya memberikan pemahaman untuk mampu memosisikan diri di tengah interaksi bebas antara pemerintah (ada yang menambahkan unsur Power), Pasar (Market, ada yang memasukkan unsur Teknologi, Digitalisasi, dan sebagainya), serta Publik (ada yang menamakannya Citizen, atau Civil Society).

Pendek kata, jurnalis kini tidak sendiri lagi. Semua unsur tadi kadang kala tak mesti berinteraksi melalui jurnalisme. Media sosial seperti Facebook atau Twitter juga bisa bekerja dengan lebih dahsyat. Tak hanya jurnalis yang harus terus mengawasi pemerintah. Di banyak negara, pemerintah atau kekuasaan mampu mengawasi bahkan mengalahkan jurnalisme, antara lain dengan kekerasan, atau bahkan dengan pencitraan. Publik atau masyarakat sipil pun kadang kala tidak perlu dibela oleh jurnalis; mereka sering marah terhadap jurnalis yang terasa betul takut pada pemerintah atau sudah terbeli oleh kekuasaan pasar, entah itu dalam bentuk iklan atau kehumasan.

Riuh sejenak

Semua kesadaran di atas tampaknya jadi jiwa dari kongres bertema ”Journalism Education in the Era of Radical Change” ini. Salah satu kekhawatiran yang pelan-pelan mencuat dalam banyak diskusi di antara peserta, antara lain, apa yang akhirnya saya namakan ”Jurnalisme Vuvuzela”! Saya khawatir, jurnalisme di era perubahan ini hanya mampu memekakkan telinga atau riuh rendah sejenak saja.

Begitu usai pertandingan atau selesai perhelatan Piala Dunia, tak banyak yang diambil hikmahnya oleh berbagai pihak. Contohnya, sama seperti di Indonesia. Ada beberapa peserta bertanya kepada saya soal hebohnya kasus ”Ariel Peterporn”. Umumnya, mereka sependapat, riuh rendahnya hanya sementara karena masalah mendasar ada dalam piramida di tengah masyarakat sendiri.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com