Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/02/2009, 15:33 WIB

Oleh: Uki Bayu Sedjati

Beberapa artis wanita mengajukan gugatan cerai atas suaminya kepada kantor pengadilan agama. Dua-tiga di antaranya mengadukan duka dengan mata yang masih biru lebam. Itulah alasan utamanya: kekerasan dalam rumahtangga.

Hikmah dari tersiarnya kabar seperti itu adalah bahwa perilaku kekerasan dalam rumahtangga bukan lagi persoalan domestik tetapi sudah menjangkau ke ranah publik. Berita yang tersebar dan ramai dibicarakan menjadi bahan pemikiran ataupun diharapkan perubahan perilaku bagi pihak-pihak yang “biasa” menggunakan kekerasan.

Mestinya begitu, ya. Namun pada kenyataanya berita tentang hal itu hampir setiap bulan ada saja yang muncul ke permukaan. Artinya, hukuman sosial yang diterima oleh pihak penganiaya, atau pun kemenangan tuntutan pihak yang dianiaya, tidak sertamerta menjadi acuan bagi warga masyarakat. Malah, yang dikhawatirkan, hal-hal itu dianggap hanya merupakan bagian dari dunia entertainment alias hiburan. Sebentar dibicarakan untuk kemudian lindap, terselip ditumpukan berkas maupun persoalan-persoalan kehidupan lain. Dan, pada gilirannya muncul lagi setiap kali peristiwa pengania-yaan terjadi.

Sekedar Komoditas?

Tayangan infotainment yang memberitakan artis dianiaya--sebagai awal dari perceraian – di beberapa stasiun televisi sudah kita saksikan namun pengaruh positifnya yaitu mengambil hikmah dari musibah--belum seperti diharapkan. Benarkah sulit merubah persepsi warga masyarakat?

Padahal artis, lho, padahal disiarkan luas. Boleh jadi nasib dari perempuan yang bukan artis alias orang kebanyakan--termasuk tenaga kerja wanita--TKW, tentu lebih mengenaskan. Karena liputan terhadap mereka, bahkanpun sudah di tangan Menteri, bahkan pak SBY turun langsung ke bandara khusus TKW, ternyata tak mampu mengurai dan mencarikan solusi yang tepat.

Berita tentang TKW dari jazirah Arab, Malaysia, Hong Kong, dan lain-lain, dari yang luka-luka, hilang ingatan sampai meninggal dunia, maaf, hanya sekedar menjadi komoditas para jurnalis. Penegakan hukum pun belum sepenuhnya tergerak.

Dengan kata lain, nyaris tak menggugah aparat pemerintah--yang semestinya melayani dan membela rakyat,  karena mereka dibayar dengan uang rakyat--untuk mengupas dan menyelesaikan secara tuntas persoalan tersebut.

Tepuk tangan sukacita ketika Undang-Undang yang anti Kekerasan dalam Rumahtangga secara resmi diberlakukan ternyata cuma applaus seremonial belaka. Gaungnya makin tak terdengar karena masuki ke dalam labirin persoalan. Boleh jadi karena upaya untuk sosialisasi terkendala oleh anggaran yang belum juga cair.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com