Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/02/2009, 15:33 WIB

Bolehkah kita mensinyalir adanya upaya dari pihak-pihak tertentu yang sengaja membuat keadaan menjadi tak kondusif--menjadikannya batu sandung bagi berlanjutnya upaya pembangunan Indonesia? Dan ratusan pertanyaan senada bermunculan, yang mungkin saja menjadi bagian dari upaya menggoyahkan pemerintahan yang sah.

Benar, cara berpikir kita mesti politis. Seruan “Jangan takut bicara politik!” mesti disebar-luaskan. Politik bukan cuma milik pejabat pemerintah, bukan milik calon lurah/bupati/gubernur, bukan milik anggota DPR, bukan! Ya, karena pada hakikatnya yang disebut politik adalah pengucapan aspirasi seseorang kepada orang lain, baik pribadi maupun kelompok. Si Polan bicara tentang uang pangkal sekolah anaknya, si Badu komentar mengenai mangkirnya petugas siskamling, si Sarinah bicarakan naiknya harga temulawak seiring meningkatnya pamor pelawak, semuanya adalah aspirasi politik.

Getok Tular
Mengajak warga masyarakat berpartisipasi, memang, rada sulit. Namun, sekali lagi, karena setiap warga masyarakat memiliki hak bersuara, tak perlu menunggu anjuran pemerintah, kita laksanakan saja melalui cara tradisionil.

Dunia itu kampung besar, terbuka, maka selain melalui media massa cetak & elektronik termasuk SMS, juga “Bisik-bisik tetangga,” kata penyanyi dangdut. “Getok tular,” ujar Mbah Kromo, dapat efektif. Percakapan antar warga boleh dilaksanakan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja.

Termasuk tentang Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah-tangga. Dengan biaya yang ada penyebarluasan teks UU tersebut kepada masyarakat, yang disambung dengan upaya foto-copy, terus berkesinambungan sampai semua warga, utamanya remaja dan dewasa, memiliki dan membicarakannya.

Dengan ataupun tidak dengan dukungan Menteri Pemberdayaan Perempuan sudah pasti pengurus Fatayat NU maupun Aisyiah-Muhammadiyah beserta LSM-2 perempuan sukacita menggandakan dan mendikusikannya.

Calon TKW boleh jadi berpikir dua kali sebelum meyakinkan dirinya untuk pergi ke luar negeri. Jika siap maka UU itu menjadi bekal sejak mengurus surat-surat keterangan dari RT/RW/Lurah, saat berangkat dari rumah, ketika di penampungan, sampai pun di tempat bekerja. Yakinlah bakal ada yang mau menterjemahkan UU tersebut dalam bahasa Inggris, Arab dan Mandarin. TKW kita di luar negeri membawa dan memberikan foto copynya kepada pihak majikan – sebagai souvenir.

Lho, tapi kan UU tersebut tak berlaku di negeri orang? Pertanyaan tersebut ada benarnya. Tapi jelas ketika pihak majikan membaca bahwa TKW yang dikontraknya dilindungi oleh UU di Negara asalnya, paling tidak akan membuat mereka tak sembarangan memperlakukan TKW – apalagi jika staf kedutaan/konsulat Indonesia menjalankan kewajibannya sebagai abdi Negara (baca: bukan sekedar “plesir” bersama keluarga).

Tulisan yang prosaik ini boleh jadi isinya terasa naïf, memang, seperti larik puitis penyair Taufik Ismail, ‘’puisi itu menepuk bahu mengingatkan..”

Jakarta, 30 Desember 2008

Uki Bayu Sedjati
Pengamat Sosial-Budaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com