Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Pelajaran dari Kegagalan AS

Kompas.com - 24/03/2013, 10:37 WIB

Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN

Meski sudah 10 tahun berlalu, invasi Amerika Serikat ke Irak yang dilancarkan pada 20 Maret 2003 tetap menjadi bahan polemik yang tak habis-habisnya, baik di dalam negeri AS maupun di banyak negara lain. Muncul pro dan kontra yang keras terhadap invasi tersebut.

Kubu kontra menyebut invasi AS ke Irak membawa petaka besar. Kubu pro mengatakan, invasi AS itu merupakan keniscayaan untuk mengakhiri rezim tirani Saddam Hussein di Baghdad.

Akan tetapi, semua analis, baik yang pro maupun kontra, mengakui, harga yang harus dibayar dari invasi tersebut sangatlah mahal. Bahkan, sampai muncul sikap penyesalan.

Biaya invasi AS ke Irak mencapai 770 miliar dollar AS. Korban tewas dari pihak Irak sekitar 116.000 penduduk sipil, 20.000 tentara dan polisi, serta 19.000 milisi. Tercatat sebanyak 4.488 tentara AS dan 179 tentara Inggris yang tewas di Irak.

Kubu pro-invasi di AS, yang sering disebut kelompok neokonservatif, kerap berdalih, invasi AS ke Irak adalah rangkaian perang melawan teroris yang dimulai sejak serangan teroris di New York dan Washington DC, 11 September 2001.

Para pentolan kelompok neokonservatif di lingkaran Presiden AS George W Bush waktu itu adalah Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan Direktur Bank Dunia yang juga mantan Deputi Menhan AS Paul Wolfowitz.

Kelompok neokonservatif tersebut mengaitkan dalih perang melawan teroris dengan senjata pemusnah massal yang, menurut mereka, dimiliki rezim Saddam Hussein.

Menurut persepsi mereka, senjata pemusnah massal yang berbahaya harus dijauhkan dari tangan yang berbahaya pula karena setiap saat bisa digunakan untuk tujuan terorisme. Oleh sebab itu, menurut alur logika mereka, perang melawan rezim Saddam Hussein merupakan keharusan untuk memusnahkan senjata pemusnah massal itu.

Kaum neokonservatif itu juga meyakini, jika rezim Saddam digulingkan, bisa menjadi pintu menuju terciptanya kawasan Timur Tengah yang lebih stabil dan bahkan membuka jalan bagi terwujudnya sistem demokrasi di kawasan tersebut.

Perang sesungguhnya

Rezim Saddam di Baghdad memang dengan mudah ditumbangkan oleh mesin militer AS dalam tempo hanya sekitar dua pekan sejak invasi dimulai.

AS diakui telah memenangi pertempuran dengan mudah melawan militer Irak. Namun, banyak pengamat dan pejabat yang kala itu memberikan peringatan keras kepada AS bahwa perang sesungguhnya justru dimulai setelah rezim Saddam runtuh.

AS dengan rasa percaya diri yang berlebihan tak menggubris peringatan tersebut. Kepercayaan diri AS tecermin dari keputusan pertama penguasa AS di Irak saat itu, Paul Bremer, yang memerintahkan pembubaran semua institusi negara Irak, termasuk angkatan bersenjata Irak. Bremer kemudian membangun kembali Irak dari awal.

Keputusan itulah yang pada kemudian hari diyakini sebagai kesalahan terbesar AS di Irak yang terus berdampak sampai hari ini. Keputusan yang harus dibayar mahal oleh negara adidaya tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com