”Mengelola hubungan kedua negara memang sulit. Komunikasi politik yang kita lakukan sudah bagus. Namun, tetap perlu kajian sosiologis bersama tentang hubungan antarkedua negara ini,” kata Kepala Biro Administrasi Menteri/Juru Bicara Deplu RI Teuku Faizasyah menjawab Kompas seusai jumpa pers di kantor Deplu Jakarta, Jumat (11/9). Tingkat kesulitan itu bukan terletak pada lemahnya komunikasi politik atau jalur diplomasi yang dibangun selama ini, melainkan semata-mata karena perbedaan cara pandang di kalangan generasi muda. ”Komunikasi politik kita sudah baik. Masalahnya kita kini berada di era yang berbeda. Generasi baru melihat (hubungan) itu lebih rasional dan para orangtua dulu melihat kedua negara sebagai serumpun,” katanya. Beberapa persoalan muncul setelah klaim kebudayaan Indonesia oleh Malaysia, terutama dalam kasus tarian pendet Bali. Hal ini ditambah lagi dengan persoalan dari sisi Indonesia. Misalnya, ada aksi sweeping terhadap warga Malaysia, pembakaran bendera dan atribut negara tetangga itu, serta unjuk rasa di Jakarta. Ada juga kasus rumah kontrakan mahasiswa Malaysia di Yogyakarta dilempari dengan telur busuk. ”Deplu mengecam tindakan sweeping ini karena tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga dapat mencoreng citra Indonesia di dunia internasional. Namun, aksi ini hanya dilakukan sekelompok kecil warga, bukan mewakili rakyat kita. Kita harus memakai jalur diplomasi dengan arif, bijak, dan damai,” kata Teuku. Saat jumpa pers, Teuku menyatakan, Malaysia prihatin dan mencemaskan keselamatan warganya di Indonesia. Kecemasan itu antara lain ditunjukkan Menteri Luar Negeri Malaysia YB Datuk Anifah Haji Aman yang sampai memanggil Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachktiar di Kuala Lumpur, Rabu lalu. ”Kita menjelaskan Indonesia melindungi semua warga asing, termasuk warga Malaysia,” jelas Teuku lagi.