Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyelundupan dan Terorisme di Perbatasan RI-Filipina

Kompas.com - 01/09/2009, 08:08 WIB

Oleh Iwan Santosa dan Agung Setyohadi

KOMPAS.com-Wilayah perbatasan laut Indonesia dan Filipina minim pengawasan sehingga rentan terhadap penyelundupan dan ancaman terorisme.

Peristiwa terakhir, yaitu pengiriman senjata dari Indonesia yang ditangkap aparat keamanan Filipina, jadi bahan pemberitaan gencar media massa di Indonesia dan Filipina, Sabtu (29/8). Wilayah perbatasan laut di Maluku Utara dan Sulawesi Utara sejatinya menjadi lintasan tradisional masyarakat perbatasan Indonesia dan Filipina.

”Kalau orang Filipina yang nelayan atau pedagang sering datang di Morotai atau pinggiran Tobelo. Warga juga sering barter dengan mereka. Pemerintah pusat tidak pernah memerhatikan bagaimana ekonomi bisa berkembang di perbatasan,” ujar Abdul Khalil, warga Tobelo, Maluku Utara.

Yahya Baba, warga Daruba, Kabupaten Morotai, menambahkan, nelayan Filipina sering merapat di utara Morotai. ”Bahkan kalau cuaca buruk, mereka sering mendarat di Kecamatan Morotai Jaya. Nelayan dan pedagang Filipina berhubungan baik dengan masyarakat di Sopi, ibu kota Kecamatan Morotai Jaya,” kata Yahya.

Kapal-kapal Filipina, yang sering kali diawaki warga negara Indonesia, kerap membawa barang kebutuhan harian berupa bahan kebutuhan pokok yang ditukar dengan hasil laut dari pesisir Maluku Utara.

Bahkan, menurut Ilong Murod, warga Daruba, Morotai, beberapa orang Filipina terkadang membarter minuman keras impor. ”Warga di sini pada dasarnya suka minum. Mereka senang dapat barter, barang yang kalau didatangkan dari Jakarta tentu mahal sekali,” kata Ilong.

Pada zaman Hindia Belanda, pemerintah kolonial memaklumi adanya hubungan lintas batas dan perdagangan tradisional. Upaya terbaik yang dilakukan pemerintah kolonial adalah membuat jadwal pasti dari pelayaran kapal-kapal KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) ke pulau-pulau terpencil, seperti Morotai di Maluku Utara dan Miangas di Sulawesi Utara.

Kondisi itu tidak berlanjut di zaman Republik Indonesia, terlebih pasca-reformasi. Warga pun harus mengembangkan sendiri jaringan ekonomi tradisional yang lebih banyak menguntungkan negara lain.

”Kita lebih untung kalau menjual ikan di Filipina karena nilai peso lebih tinggi daripada rupiah. Kalau berlayar dari Maluku Utara ke Balut atau Sarangani di Filipina Selatan butuh waktu dua hingga tiga hari,” kata Luther Mandome (52), nelayan asal Talaud yang rutin berlayar antara Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Filipina Selatan.

Dimanfaatkan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com