SITTWE, SENIN
Dalam pidatonya di stasiun televisi pemerintah selama sembilan menit, Presiden Thein Sein, Senin (11/6), mengumumkan status darurat di seluruh wilayah yang berbatasan dengan Banglades itu.
Kekacauan bernuansa sektarian ini menjadi ujian berat bagi pemerintahan Thein Sein, yang beberapa waktu lalu banyak dipuji sebagai salah satu arsitek perubahan di negeri tersebut setelah berakhirnya rezim junta militer.
Di lokasi, aparat keamanan mulai menyisir dan memindahkan jenazah korban yang tewas dari puing-puing rumah dan bangunan yang terbakar. Ratusan rumah, toko, penginapan, biara, dan tempat-tempat ibadah hancur terbakar. Kehadiran aparat keamanan dan militer di lokasi sedikit memberi ketenangan bagi warga yang ketakutan.
”Situasi sepertinya sudah kembali normal begitu personel militer datang ke kota untuk mengamankan keadaan,” ujar salah seorang warga.
Mayoritas penduduk Provinsi Rakhine menganut agama Buddha. Akan tetapi, populasi warga Muslim di wilayah itu juga terbilang besar. Sebagian besar warga Muslim itu berlatar belakang etnis Rohingya, atau yang biasa disebut orang ”Bengali” oleh warga etnis lain di Myanmar.
Selama ini keberadaan dan status etnis Rohingya tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah. Penduduk Myanmar sendiri memiliki sentimen negatif yang besar terhadap mereka. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, etnis Rohingya dideskripsikan sebagai kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.
Baik warga Buddha maupun Muslim sebetulnya sama-sama ketakutan. Namun, mereka juga saling menuduh masing-masing pihak adalah penyebab kerusuhan berdarah.
”Saya sangat khawatir. Banyak warga Rakhine menjadi sangat rasialis. Mereka seolah sudah tidak mau lagi hidup berdampingan dengan damai,” ujar Abu Tahay dari Partai Nasional Demokratik untuk Pembangunan (NDPD), partai politik yang mewakili aspirasi warga Rohingya.