Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Papua Kenapa Terus Membara

Kompas.com - 12/08/2011, 02:18 WIB

Bagong Suyanto Konflik yang masih terus membara di Papua sesungguhnya berakar dari berbagai macam persoalan. Namun, inti sejumlah pertikaian dan bara yang meletup di Bumi Cenderawasih, menurut Tamrin Amal Tamagola (Kompas, 9/8), sesungguhnya berakar pada persoalan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang berhadapan dengan kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan Papua memerdekakan diri jika MRP diberi wewenang dalam bidang politik. Benarkah demikian?

Pembagian dan perbedaan interpretasi tentang batas kewenangan masyarakat lokal merupakan salah satu penyebab munculnya konflik di Papua, tetapi, dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan aksi kekerasan dan resistensi masyarakat lokal terus bergolak tak bisa direduksi hanya pada persoalan di ranah politik. Diakui atau tidak, konflik yang terus membara di Papua sebenarnya konsekuensi kekeliruan negara merancang skenario perubahan dan pembangunan yang cenderung menafikan kepentingan dan eksistensi masyarakat setempat.

Banyak kajian membuktikan, di balik kemajuan pembangunan yang berhasil dicapai di Papua, ternyata di saat yang sama juga lahir berbagai problem sosial-budaya di kalangan penduduk lokal serta tuntutan untuk melakukan berbagai penyesuaian menyikapi kehadiran situasi dan kondisi baru yang terus berubah karena dihela industrialisasi, modernisasi, dan kehadiran para pendatang dengan segala perbedaan dan kepentingannya (FISIP Unair, 2004; Rathgeber (ed), 2006).

Proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat terbukti telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Bukan tak mungkin, penduduk lokal yang tak kuat dan kurang bisa beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya akan mengalami proses marjinalisasi, bahkan gegar budaya.

Polarisasi

Di Papua, dengan mudah siapa pun bisa melihat bahwa tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi terbukti menyebabkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat, dan warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Papua adalah perencanaan dan pembangunan proyek yang hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial—tanpa memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat—terbukti hanya melahirkan problem sosial-budaya.

Seperti juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.

Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal. Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itu, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial berkepanjangan.

Di bumi Papua, banyak kajian telah membuktikan, dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.

Revitalisasi budaya lokal

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com