Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senja Kala Wayang Cokek

Kompas.com - 10/12/2009, 14:26 WIB

PERNAH dengar atau masih ingat wayang cokek? Wayang cokek adalah salah satu peninggalan seni yang makin terpinggir, jika tak mau disebut hilang. Setidaknya, seperti kisah soehian yang diterbitkan Warta Kota edisi 9 Desember 2009, wayang cokek berubah "arah". Meski namanya wayang cokek, namun jangan bayangkan wayang cokek seperti wayang orang, wayang kulit, wayang golek, atau bahkan wayang potehi. Wayang cokek sebenarnya adalah istilah Melayu Tionghoa sehingga berbeda pengertian dengan wayang dalam tradisi Jawa/Tionghoa peranakan Jawa.

Dalam bahasa Melayu, wayang diartikan sebagai anak wayang yang berarti aktor atau aktris. Sementara cokek dari bahasa Tionghoa dialek Hokkian selatan chiou-khek yang berarti menyanyi. Selanjutnya, cokek yang artinya menyanyi berubah menjadi penyanyi. Maka wayang cokek kemudian dikenal sebagai penyanyi sekaligus aktor/aktris. Namun, salah kaprah tetap terjadi, wayang cokek lantas beken sebagai penyanyi yang juga menari.

Ating, salah satu wayang cokek yang undur diri dari dunia seni di awal tahun 2000 karena kesehatan, beken dengan pantun Melayu Betawi dalam lagu Balo-balo. Yang mengiringi Ating menyanyi tak lain adalah Gambang Kromong Naga Mas pimpinan Boe Tiang Hay. Piringan hitam Ating diterbitkan tahun 1960-an di bawah nama The Indonesian Music Company Irama Ltd.   

Menurut pengamatan budayawan Tionghoa peranakan David Kwa, wayang cokek semula tak hanya menyanyi tapi juga membawakan peran dalam suatu pertunjukan opera. Termasuk di dalamnya, menari. Hal itu diperkuat dengan kisah riwayat Oei Tamba Sia dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 5 di mana Tamba Sia digambarkan memiliki hubungan dengan wayang si Botan (Bouwtan, nama sejenis bunga di negeri China).

Tamba Sia, begitu dikisahkan, tergila-gila pada Bouwtan saat ia beraksi sebagai Sie Djin Koeij dalam episode Sih Djin Koeij Pukul Mo Thian Nia. Tamba Sia pun kerap mengiringi Bouwtan, yang menyanyi, dengan bermain gambang. Artinya, menurut David Kwa, pada zaman Tamba Sia, wayang cokek menyanyi dan tidak menari.

Peran wayang cokek diketahui bertambah, setelah Phoa Kian Sioe melakukan riset, sejak sekitar 1880-an. Yaitu saat orang Tionghoa peranakan mulai mengambil selendang untuk ngibing alias menari dengan wayang cokek. Sejak itulah wayang cokek tak hanya menyanyi tapi juga menari.

Sayangnya, dalam perjalanan selanjutnya, fungsi menari itulah yang lebih dikenal. Jadi jika ada warga mengatakan wayang cokek, maka di benak warga itu atau warga lain, yang ada hanyalah penari. Lucunya, saat ada pagelaran wayang cokek, penyanyi lain disediakan di panggung sedangkan penari - yang diidentikkan sebagai wayang cokek - khusus menari. Wayang cokek di masa lalu biasa tampil di pesta kaum Tionghoa peranakan di Betawi dan Tangerang.

Untuk menjadi wayang cokek tak lagi perlu punya suara empuk, cukup asal bisa menari (baca: goyang seksi) dan pandai berdandan menor. Sudah begitu pun, kesenian wayang cokek tersisa di pelosok kampung di Tangerang. Sungguh sayang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com