Ada banyak faktor. Yang paling utama, meningkatkan lembaga pendidikan. Bukan hanya penerbang, penyiap, juga fungsi yang mengawasi.
Hingga tahun 2014 direncanakan ada sekitar 104 pesawat baru. Bagaimana jumlah pilot?
Hampir dua tahun untuk siapkan penerbang. Ada dua jalur, yaitu Akademi Angkatan Udara dan PSDP (Prajurit Sukarela Dinas Pendek), masuk Sekolah Penerbang. Dengan adanya penambahan pesawat ini, kami
Soal pengadaan, bagaimana supaya sistem di TNI AU lebih transparan?
Kita kembali ke ketentuan yang ada. Kami sudah tekankan itu. Untuk perawatan, semaksimal mungkin kita laksanakan sendiri. Namun, tidak semua perawatan bisa kita lakukan sendiri, soal jumlah dan kualitasnya.
Kerja sama dengan industri pertahanan dalam negeri?
Kami harapkan dari dalam negeri bisa memenuhi tuntutan waktu, kualitas, dan harga. Ini alat perang, harus bisa memberikan efek gentar. Malah ada yang memang khusus kita butuhkan dari PT Dirgantara Indonesia, yaitu pesawat angkut ringan. Belum sempurna, tapi bisa didiskusikan dan jangka panjang pasti lebih bagus.
Soal rencana pembuatan
Kita lebih optimistis dengan proyek itu. Sejak awal, rancangannya mengikuti kebutuhan operasi TNI AU. Dari penerbang, bagian teknis, sudah kerja sama baik di PT Dirgantara Indonesia ataupun Korea. Soal ditunda itu biasanya malah bisa tiga tahun.
Soal efek gentar. Pesawat tempur Indonesia kalah canggih dengan negara lain di kawasan?
Saya senang kalau masyarakat khawatir, itu tanda peduli. Yang harus dilihat itu kemampuan. Kekuatan itu hanya satu bagian dari kemampuan. Pelatihan, kekuatan, strategi gelar senjata, pendidikan, itu semua kemampuan. Orang lain boleh kuat kalau kita nekat, bisa juga, ha-ha-ha. Kemampuan itu bukan soal canggih atau kuat. Tidak bisa dilihat. Kalau kita latihan dengan negara tetangga itu lebih untuk bangun kepercayaan. Semua enggak mau perang. Inginnya dihormati. Perang itu semua kalah.
Apa tantangan TNI AU yang menurut Bapak harus jadi perhatian utama?
Sumber daya manusia (SDM). Tantangannya, bagaimana tingkatkan SDM, khususnya nilai kejuangan. Kita dihadapkan pada tren global yang menuntut tentara profesional. Padahal, yang utama itu bagaimana nilai kejuangannya. Setelah itu baru profesionalisme. Kalau hanya profesional, lupa nilai juang, jadi bias. Di tengah arus global, di mana gaji di luar seperti ini.