Hal paling mutakhir adalah Air Traffic Flow Management (ATFM). Saat ini ada tiga negara yang memperebutkan posisi ATFM Center di Asia Pasifik, yaitu Indonesia, Australia, dan Thailand. Jika Thailand atau Australia menjadi pemegang ATFM Center, seluruh penerbangan sipil dan militer, bahkan di wilayah Indonesia, harus minta izin kepada Thailand atau Australia. Potensi pelanggaran kedaulatan udara muncul di sini.
Dalam konteks ini, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) merayakan ulang tahun ke-67 pada 9 April 2013.
Apa program utama sebagai Kepala Staf TNI AU?
Menyiapkan satuan operasional dan meningkatkan lembaga pendidikan. Tentang satuan operasi, rencana pengembangan TNI AU hingga 2014 adalah delapan skuadron tempur, termasuk penggantian OV-10 dengan Super Tucano dan MK-53 dengan T-50i, serta persiapan kedatangan F-16 C/D 52ID. Juga enam skuadron angkut dengan CN 205 dan C-130H serta
Bagaimana sekarang kesiapan pesawat-pesawat TNI AU?
Tugas kami mengoptimalkan anggaran pemerintah. Berapa pun kami dikasih, itu yang dioptimalkan. Soal berapa persen kesiapannya tidak bisa kami buka. Untuk radar, sampai 2020 diharapkan sudah terpenuhi 32 radar. Hingga tahun 2014, target radar juga mencapai 23 (unit), termasuk penggantian di Poso serta penambahan di Singkawang, Morotai, dan Jayapura.
Masih banyak pesawat masuk wilayah udara Indonesia tanpa izin? Tahun 2012 ada 13 kasus.
Ini lebih soal penegakan hukum daripada pertahanan. Kebanyakan kasus itu pesawat sipil. Banyak yang sudah minta izin, tapi proses belum selesai atau belum sampai ke kami.
Bagaimana mencegah kecelakaan pesawat TNI AU?
Ada banyak faktor. Yang paling utama, meningkatkan lembaga pendidikan. Bukan hanya penerbang, penyiap, juga fungsi yang mengawasi.
Hingga tahun 2014 direncanakan ada sekitar 104 pesawat baru. Bagaimana jumlah pilot?
Hampir dua tahun untuk siapkan penerbang. Ada dua jalur, yaitu Akademi Angkatan Udara dan PSDP (Prajurit Sukarela Dinas Pendek), masuk Sekolah Penerbang. Dengan adanya penambahan pesawat ini, kami
Soal pengadaan, bagaimana supaya sistem di TNI AU lebih transparan?
Kita kembali ke ketentuan yang ada. Kami sudah tekankan itu. Untuk perawatan, semaksimal mungkin kita laksanakan sendiri. Namun, tidak semua perawatan bisa kita lakukan sendiri, soal jumlah dan kualitasnya.
Kerja sama dengan industri pertahanan dalam negeri?
Kami harapkan dari dalam negeri bisa memenuhi tuntutan waktu, kualitas, dan harga. Ini alat perang, harus bisa memberikan efek gentar. Malah ada yang memang khusus kita butuhkan dari PT Dirgantara Indonesia, yaitu pesawat angkut ringan. Belum sempurna, tapi bisa didiskusikan dan jangka panjang pasti lebih bagus.
Soal rencana pembuatan
Kita lebih optimistis dengan proyek itu. Sejak awal, rancangannya mengikuti kebutuhan operasi TNI AU. Dari penerbang, bagian teknis, sudah kerja sama baik di PT Dirgantara Indonesia ataupun Korea. Soal ditunda itu biasanya malah bisa tiga tahun.
Soal efek gentar. Pesawat tempur Indonesia kalah canggih dengan negara lain di kawasan?
Saya senang kalau masyarakat khawatir, itu tanda peduli. Yang harus dilihat itu kemampuan. Kekuatan itu hanya satu bagian dari kemampuan. Pelatihan, kekuatan, strategi gelar senjata, pendidikan, itu semua kemampuan. Orang lain boleh kuat kalau kita nekat, bisa juga, ha-ha-ha. Kemampuan itu bukan soal canggih atau kuat. Tidak bisa dilihat. Kalau kita latihan dengan negara tetangga itu lebih untuk bangun kepercayaan. Semua enggak mau perang. Inginnya dihormati. Perang itu semua kalah.
Apa tantangan TNI AU yang menurut Bapak harus jadi perhatian utama?
Sumber daya manusia (SDM). Tantangannya, bagaimana tingkatkan SDM, khususnya nilai kejuangan. Kita dihadapkan pada tren global yang menuntut tentara profesional. Padahal, yang utama itu bagaimana nilai kejuangannya. Setelah itu baru profesionalisme. Kalau hanya profesional, lupa nilai juang, jadi bias. Di tengah arus global, di mana gaji di luar seperti ini.