Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Janji REDD dan Nasib Hutan Kita

Kompas.com - 11/03/2013, 02:31 WIB

Melalui iming-iming dana hibah 1 miliar dollar AS dari Kerajaan Norwegia tahun 2010, Indonesia dibangkitkan untuk memperbaiki hutan dan tata kelola hutan. Namun, pelaksanaan letter of intent (LoI) yang amat lambat—terdiri atas tiga hal: persiapan, transformasi, dan implementasi—menunjukkan bahwa progresnya sangat lambat atau bahkan tidak akan dapat dipenuhi. Akibatnya, pembayaran kontribusi dana yang dijanjikan dan harus disetujui Parlemen Norwegia diragukan terwujud.

Harapan untuk memperoleh nilai kompensasi upaya pelaksanaan REDD+ selayaknya tidak diprioritaskan meskipun Indonesia dengan kawasan lindung yang masih berhutan sekitar 36,5 juta hektar memiliki potensi nilai penyerapan karbon 105-114 miliar dollar AS, belum termasuk hutan produksi yang masih baik.

Pemicu perbaikan hutan

Program REDD+ maupun program hijau perendahan emisi karbon selayaknya ditangkap sebagai dorongan untuk memperbaiki tata kelola hutan, meningkatkan kualitas pengelolaan hutan yang adil, memberikan akses yang layak buat masyarakat terutama masyarakat adat, serta meningkatkan kesejahteraan dan status sosial masyarakat sekitar hutan. Isu tenurial dan sosial ekonomi masyarakat merupakan bagian penting yang harus ditangani agar tidak berkepanjangan.

Persoalan pemantapan tata ruang dan tata guna kawasan hutan serta kualitas penyelenggaraan tata kelola kehutanan menjadi bagian utama yang perlu diperbaiki. Kompleksitas persoalan kehutanan tersebut semakin tidak mudah diurai karena faktor penyalahgunaan kewenangan. Pikiran dan perilaku koruptif akan menggagalkan pencapaian REDD+.

Masalah krusial yang mengganggu adalah penyelesaian proses pengukuhan batas hutan yang belum mencapai 15 persen dan pengamanannya sehingga masih menjadi cemoohan banyak pihak. Dengan hambatan penataan batas hutan sangat banyak, rasanya sampai akhir zaman proses tata batas dan pengukuhan kawasan hutan Indonesia tidak akan selesai tuntas. Pemerintah harus berpikir ulang untuk melakukan teknik yang lain dalam melindungi dan memantapkan batas-batas kawasan hutan selain pematokan batas di lapangan.

Pemaksaan izin

Persoalan lain yang harus dibenahi adalah syarat clean and clear dalam proses perizinan penggunaan kawasan hutan hampir tidak pernah terpenuhi, tetapi izin selalu dipaksakan terbit karena kepentingan kedua belah pihak. Akibatnya, konflik lahan tidak pernah dapat dihindari dan berdampak pada kerusakan hutan.

Pembalakan liar menjadi penyakit kronis yang tidak hanya bertautan dengan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri dan rumah tangga, tetapi malahan sudah menjadi ”kue” lain yang sehari-hari dinantikan untuk dijadikan rayahan.

Sedangkan masalah kebakaran hutan yang umumnya berasal dari lahan transisi semakin sulit dikendalikan karena terkait budaya berladang. Ini yang sebenarnya bisa diatasi dengan masukan teknologi, bukan dengan kebijakan antipembakaran dalam pembukaan ladang rakyat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com