Salah satu agenda utama dalam pertemuan antara para pebisnis dan pimpinan negara ini adalah soal krisis finansial global. Akan tetapi, isu ini tampaknya terancam dibayangi dengan isu referendum ini.
Dalam pidato yang tertunda sepekan dari jadwal sebelumnya, Cameron berjanji akan melakukan referendum akhir tahun 2017 jika Partai Konservatif terpilih kembali pada Pemilu 2015. Referendum ini akan memberikan pilihan kepada rakyat Inggris, apakah mereka akan tetap di UE atau tidak.
Cameron menekankan, prioritas utamanya adalah menegosiasikan kembali traktat UE, bukan meninggalkan blok itu. ”Saya katakan, sering kali Eropa menjadi terlalu mahal bagi dunia bisnis dan rakyat kami. Oleh karena itu kita perlu mencapai kesepakatan baru, tidak hanya demi Inggris, tetapi demi semua orang di UE,” katanya di Davos, Kamis.
Pidato tersebut memancing kemarahan petinggi Eropa lainnya. Perancis dan Jerman memperingatkan bahwa Inggris tidak dapat memilih perannya di antara 27 negara tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri Italia Mario Monti yakin rakyat Inggris masih ingin bergabung dengan UE.
Dari sisi investor, rencana ini menimbulkan kekhawatiran adanya ketidakpastian di Inggris. Sementara itu, perekonomian Inggris telah melemah dan berisiko kehilangan peringkat AAA-nya.
Cameron memperingatkan, perusahaan harus membayar pajak dan dia akan memanfaatkan posisi Inggris sebagai ketua di Kelompok 8 (G-8) untuk melawan perusahaan yang menghindari pajak. Dalam forum itu, Cameron mengatakan, terlalu banyak perusahaan global yang sengaja menghindari pajak. Tahun lalu, Inggris mengumumkan perusahaan multinasional, seperti Google, Starbucks, dan Amazon, menunggak pajak di Inggris.
Sementara itu, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan, pasar finansial belakangan ini memerlukan stabilitasi. ”Tekanan dalam jangka pendek telah berkurang, tetapi tekanan dalam jangka panjang masih mengintai kita,” katanya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.