GENEVA, RABU -
Dengan kondisi seperti itu, Pillay, Rabu (15/1), mendesak agar dunia segera menggelar penyelidikan mandiri atas catatan-catatan buruk negeri itu dalam hal pelanggaran HAM.
”Awalnya banyak pihak berharap pada sosok pemimpin belia Korea Utara (Korut), Kim Jong Un, akan mampu mendatangkan perubahan positif terkait penegakan hak asasi manusia (HAM) di negerinya,” ujar Pillay.
Akan tetapi, setahun berlalu sejak diangkat menggantikan mendiang ayahnya, Kim Jong Il, pemimpin muda itu tidak melakukan perubahan yang diharapkan.
Dewan HAM dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), yang beranggotakan 193 negara di dunia, memang pernah mengecam catatan HAM Korut. Namun, Pilay menilai hal tersebut belum cukup. Dia menekankan perlunya tindakan lebih keras terhadap Korut.
Kritik pedas Dewan HAM PBB agar menggelar penyelidikan internasional penuh terhadap kejahatan serius itu didasari hasil temuan pelapor khusus PBB untuk Korut, Marzuki Darusman, September lalu.
Dalam laporan itu disebutkan 150.000-200.000 rakyat Korut ditahan di sedikitnya enam kamp tahanan politik, dengan tiduhan melakukan pelanggaran politik.
Pillay sendiri mendapatkan pengalaman dan pengetahuan langsung tentang kondisi para tahanan politik itu dari dua tahanan politik yang selamat dan melarikan diri.
”Apa yang mereka gambarkan sama sekali antitesis dari norma-norma HAM internasional. Kami hanya tahu sedikit sekali tentang kamp-kamp ini dan itu pun cuma dari beberapa orang yang berhasil kabur dari negeri itu,” ujar Pillay.
Menurut Pillay, apa yang terjadi di kamp-kamp di Korut itu adalah sistem penyiksaan yang dilakukan secara merajalela. Mulai dari penyiksaan, kekerasan, perlakuan tak manusiawi, eksekusi singkat, pemerkosaan, kerja paksa, dan berbagai bentuk hukuman kolektif lain.