Kalangan publik dan elite Sunni di Irak kini yakin tokoh-tokoh Sunni yang lain tinggal menunggu giliran bernasib seperti Hashemi dan Essawi. Mereka menuduh PM Maliki memimpin pemerintah sektarian.
Lawan-lawan politik Maliki, seperti mantan PM Iyad Alawi dan pemimpin Kurdistan Mas’ud Barzani, telah meminta Maliki mundur.
Gerakan pengunjuk rasa itu mendapat simpati dari tokoh penting kelompok Syiah, Moqtada al-Sadr. Sadr bersama Maliki selama ini tergabung dalam Koalisi Nasional Irak yang terdiri atas kekuatan-kekuatan politik Syiah.
Sikap Sadr, yang mendukung para pengunjuk rasa Sunni, memecah barisan koalisi tersebut. Perpecahan itulah yang melemahkan posisi politik Maliki dalam menghadapi para pengunjuk rasa.
Maliki pun mulai melunakkan sikapnya terhadap pengunjuk rasa dengan membebaskan sejumlah warga yang ditahan di Provinsi Al Anbar. Ia berjanji akan membentuk komite yang bertugas mempelajari kemungkinan pembebasan tahanan dalam jumlah yang lebih besar lagi.
Krisis politik bernuansa sektarian di Irak ini terjadi hampir bersamaan dengan puncak ritual Arbain di Karbala, sekitar 110 kilometer sebelah selatan Baghdad, Kamis (3/1).
Pada hari tersebut, jutaan kaum Syiah berkumpul di Karbala, tempat makam Imam Hussein berada. Masa puncak ritual Arbain ini biasanya diwarnai dengan aksi kekerasan terhadap warga Syiah yang sedang berziarah.
Tahun ini, Pemerintah Irak mengerahkan 35.000 tentara dan polisi, termasuk 2.500 polisi wanita, untuk menjaga prosesi di Karbala.