Keputusan unilateral apa pun yang diambil di Beijing ataupun Tokyo menghadapi dilema strategi dengan laut sebagai hambatannya. Kekuatan laut ataupun udara setiap negara juga pasti tak akan melakukan pendudukan Kepulauan Senkaku yang kecil dan tidak berpenghuni.
Kita melihat persoalan di Senkaku sebagai ekspresi nasionalisme usang antara China dan Jepang. China memang memiliki dua dimensi kepentingan, yakni kebangkitan angkatan lautnya perlu lanskap uji coba sebagai kekuatan maritim yang diakui dunia. Kedua, diplomasi global China perlu mencari bentuk untuk menjaga nasionalisme rakyatnya demi kepentingan kekuasaan komunisme.
Penegakan hukum menjadi momok bagi China (dan juga Taiwan yang membonceng proyeksi kebijakan luar negeri RRC) yang menolak penyelesaian sengketa ini melalui mekanisme Mahkamah Internasional (ICJ) atau berdasarkan hukum laut PBB UNCLOS. Pengalaman sejarah China 200 tahun lalu menunjukkan beberapa perjanjian internasional telah memecah belah China dan menghina kekuasaan Dinasti Qing melalui apa yang disebut sebagai perjanjian pelabuhan.
Apa pun klaim Jepang di Kepulauan Senkaku atau Diaoyu tak akan diterima China yang akan bersikeras mempertahankan apa mereka sebut sebagai hak kedaulatan. Hambatan mental sindrom penghinaan ataupun strategi kelautan akan menjadi persoalan baru tata hubungan internasional dalam membentuk rumusan regionalisme dan multilateralisme baru.
Mungkin benar apa yang disebut filsuf Denmark, Søren Kierkegaard, dalam bukunya Fear and Trembling (Takut dan Gemetar), ”Tidak ada gunanya mengingat masa lalu yang tidak bisa menjadi masa kini.” Jepang dan China sudah waktunya mengubur masa lalu mereka.