Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Myanmar Masih seperti Dulu?

Kompas.com - 12/08/2012, 04:04 WIB

Sejak lama warga Rohingya tak pernah diakui status dan keberadaannya oleh Pemerintah Myanmar. Hal itu tampak jelas ketika Presiden Myanmar Thein Sein menerima delegasi Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) yang dipimpin Antonio Guterres, 11 Juli lalu.

Secara terang-terangan Thein Sein menegaskan bahwa pemerintahannya tidak mengakui keberadaan warga Rohingya sebagai warga negaranya. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling Thein Sein menyebut keberadaan 800.000 warga Rohingya di negerinya sebagai ”ancaman terhadap keamanan nasional” Myanmar.

”Mereka, para warga Bengali (suku di Banglades) itu, masuk Myanmar ketika penjajah Inggris mempekerjakan mereka di pertanian sebelum negeri kami merdeka tahun 1948. Sesuai hukum kami, hanya generasi ketiga keturunan para (imigran) Bengali, yang masuk ke Myanmar sebelum 1948, akan diakui sebagai warga negara,” ujar Thein Sein.

Thein Sein bahkan seolah ”menantang” dengan mempersilakan UNHCR mengambil alih keberadaan ratusan ribu warga Rohingya. Dia mempersilakan UNHCR menampung lalu mencarikan negara ketiga yang bersedia menerima mereka menjadi warga negara.

Dengan sikap seperti itu, tak mengherankan jika dalam kerusuhan bernuansa sektarian tersebut warga Rohingya menjadi pihak yang sangat menderita dan terusir dari Myanmar. Mereka melarikan diri ke negara tetangga, Banglades.

”Dalam kerusuhan kemarin, Pemerintah (Myanmar) gagal hadir dan menjalankan tugasnya menghadirkan kepastian hukum dan ketertiban,” ujar Wakil Direktur Asia HRW Phil Robertson dalam jumpa pers di Perpustakaan Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (10/8).

Aparat Myanmar, kata Robertson, dilaporkan menembaki warga sipil Rohingya bahkan memobilisasi warga Arakan untuk mengejar, menangkap, menyiksa, memerkosa, bahkan membunuh warga Rohingya. Banyak saksi menyebut truk-truk aparat keamanan justru mengangkut warga sipil Rakhine bersenjata.

Robertson juga menyoroti diskriminasi yang dilakukan kepolisian Myanmar dalam menangani akar persoalan pemicu kerusuhan. Polisi menangkap tiga pelaku kriminal yang merampok, memerkosa, dan membunuh seorang perempuan etnis Arakan di kota Ramri, 28 Mei, yang kemudian menjadi awal kerusuhan.

Dua dari tiga pelaku dijatuhi hukuman mati, sementara seorang lagi disebut-sebut tewas bunuh diri. Namun, langkah hukum serupa tak dilakukan terhadap ratusan warga etnis Arakan yang terlibat dalam amuk massa di kota Toungop, 3 Juni.

Saat itu ratusan warga etnis Arakan yang mengamuk mencegat sebuah bus lalu menyeret keluar 10 warga minoritas lalu memukuli mereka secara brutal hingga tewas. Dua kejadian itu yang kemudian memicu kerusuhan besar-besaran di Sittwe, ibu kota Rakhine, dan kota Maungdaw, 8-9 Juni.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com