Mengutip pandangan Sultan Hamengku Buwono X dalam diskusi ”Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita” di Bentara Budaya Jakarta, 30 April 2012, hukum adat dan masyarakat adat posisinya dilematis. Pemerintah cenderung memakai pendekatan ekonomi, bukan pendekatan peradaban dan kearifan lokal yang dasarnya adalah etika dan moralitas.
Eksistensi identitas etnis karenanya bukan sekadar bisa agar saling berdialog, melainkan harus sampai pada tahap transformasi dan akulturasi budaya. Dengan demikian kekayaan etnis dan adat-istiadat di tangan negara, selanjutnya menjadi kekuatan baru di dalam menghadapi tantangan zaman. Bukan justru etnisitas dan adat mengganggu negara menghadapi tantangan zaman, sebagaimana terus terjadi saat ini. Ketiga, bagaimana masyarakat adat (masyarakat lokal) memperoleh hak-hak ekonomi lokalnya karena perlindungan negara.
Arie Sujito dari Institute for Research and Empowerment (IRE) mengusulkan agar melihat desa bukan sebagai problem, tetapi sebagai fondasi sebuah bangsa. Menyangkut adat dan desa adat, kita harus membela, tetapi juga harus mendidik agar adat menjadi kesadarannya tidak komunal, tetapi citizenship. Dengan demikian praktik humanisme, keadilan jender juga muncul. Tidak mungkin lagi desa diisolasi.
Momentum dan relevansi pembahasan RUU Desa, lanjut Arie, amat kuat, tetapi konten RUU-nya mundur. Ia menunjuk masalah alokasi dana desa, masalah kewenangan, dan masalah pluralisme justru tidak muncul. Beberapa hasil riset yang IRE lakukan di beberapa wilayah menggambarkan betapa terjadi inovasi lokal desa, tetapi inovasi itu tak muncul ke permukaan.