Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suu Kyi Bisa Berpidato Nobel Setelah 21 Tahun

Kompas.com - 14/06/2012, 10:57 WIB

OSLO, KOMPAS.com - Lebih dari dua dekade setelah mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi akhirnya bisa dengan bebas menyampaikan pidato penerimaan Nobel Perdamaian di Oslo pada Sabtu (17/6/2012).

"Tidak diragukan lagi, ini merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Nobel," kata pemimpin Komite Nobel Norwegia, Thorbjoern Jagland, kepada AFP.

"Selama 21 tahun ini, Aung San Suu Kyi telah membuktikan bahwa bukan saja memberinya penghargaan (Nobel) merupakan hal yang tepat, tapi juga dia telah menunjukkan dirinya sebagai pemimpin moral untuk seluruh dunia. Meskipun dia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam isolasi, suaranya terus terdengar,"

Pada 14 Oktober 1991, Komite Nobel menganugerahkan Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi karena "memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia tanpa kekerasan". Penghargaan itu melambungkan nama tokoh oposisi Myanmar itu ke tingkat dunia.

Ketika mendapat penghargaan tersebut, Suu menjadi tahanan rumah, setelah junta militer menolak mengakui kemenangan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pada pemilihan umum setahun sebelumnya.

"Rezim (Myanmar) tidak mencekal dia ke luar negeri (untuk mengambil hadiahnya), tapi dia terancam dilarang masuk kembali ke negaranya," kata Sekretaris Komite Nobel, Geir Lundestad.

Lundestad mengatakan, sampai sekarang dia yakin, kekhawatiran Suu Kyi saat itu bisa dimaklumi.

Sebelum Suu Kyi, hanya sejumlah kecil penerima Nobel yang dilarang pergi ke Oslo untuk mengambil Nobel Perdamaian untuk mereka. Yakni jurnalis dan pejuang antikekerasan Carl von Ossietszky, pembangkang Rusia Andrei Sakharov, dan pemimpin Solidaritas Polandia Lech Walesa.

Suu Kyi kemudian diwakili suaminya yang berkebangsaan Inggris, Michael Aris, dan dua putra mereka, Alexander serta Kim, untuk menerima penghargaan tersebut dalam sebuah upacara formal di Oslo pada 10 Desember 1991.

"Saya tahu jika saat ini dia bebas, Ibu akan, selain berterima kasih, juga meminta didoakan agar para penindas itu meletakkan senjata dan bergabung untuk membangun negara berdasarkan kemanusiaan dalam semangat perdamaian," kata Alexander saat itu.

Pernyataannya itu menyentuh setiap orang yang menghadiri upacara yang digelar di Balai Kota Oslo tersebut. "Saat mendengarkan Alex, Ratu Sonja dan perdana menteri (saat itu) Gro Harlem Brundtland, yang juga ibu, menangis. Begitu juga orang-orang lain," kenang Lundestad.

Khawatir dengan nasib Suu KYi, masyarakat internasional meningkatkan upaya pembebasannya. Berbagai cara dilakukan. Dari seruan para pemimpin dunia, ancaman boikot ekonomi, serta memberi berbagai penghargaan pada Suu Kyi. Namun semua itu tidak membuahkan hasil.

"Dia (Suu Kyi) akan makin terancam jika dia tidak menerima Nobel," lanjut Jagland.

Seiring gelombang reformasi politik di Myanmar, Suu Kyi akhirnya dibebaskan tahun lalu, setelah dia menjalani total 15 tahun dalam tahanan rumah.

Kini Suu Kyi menjadi seorang anggota parlemen. Dia juga bisa menyampaikan pidato penerimaan Nobel, seperti para penerima Hadiah Nobel lainnya, pada Sabtu ini, tiga hari menjelang ulang tahunnya yang ke-67.

"Ini menjadi pelajaran tentang optimisme," kata Lundestad. "Ini (kisah Suu Kyi) menunjukkan, dalam jangka panjang, Anda tidak bisa melawan kehendak rakyat."

Setelah Suu Kyi, tinggal seorang penerima Nobel yang belum bisa menerima penghargaannya, yaitu pembangkang China Liu Xiaobo, yang mendapat penghargaan itu pada 2010. Liu Xaiobo kini masih dipenjara pemerintah China.

"Saya berharap dia tidak membutuhkan 21 tahun untuk menerima penghargaannya," ujar Jagland.

"Namun kasus Aung San Suu Kyi menjadi sebuah sinyal penting yang menunjukkan bahwa cepat atau lambat, para pendukung demokrasi akan menang."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com