Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Denuklirisasi Korea dan Koeksistensi Damai

Kompas.com - 11/04/2012, 03:07 WIB

OLEH RENÉ L PATTIRADJAWANE

Militerisasi dan nuklirisasi di Semenanjung Korea akan selalu menjadi warisan usang Perang Dingin yang terus dipertahankan. Ini menimbulkan ketegangan konstan selama tiga generasi sejak berkuasanya Kim Il Sung di Korea Utara sampai cucunya, Kim Jong Un, menggantikan ayahnya, Kim Jong Il. Semenanjung Korea identik dengan krisis nuklir dan militer.

Berkuasanya generasi ketiga Kim, sekali lagi, menunjukkan masalah persenjataan nuklir adalah persoalan perimbangan kekuatan, baik dalam menghadapi AS maupun Korea Selatan untuk menentukan batasan-batasan reunifikasi Korea. Kim Jong Un sebagai penguasa baru bersikap seperti ”anak anjing yang tidak takut macan” dengan mengabaikan semua ancaman dan protes rencana peluncuran roket pembawa satelit.

Paradigma politik Semenanjung Korea menjadi persoalan rumit setelah perundingan enam negara, yang disebut enam pihak, tidak berhasil mencapai kesepakatan berarti. Padahal kesepakatan ini perlu untuk meredakan ketegangan yang selalu mengejutkan semua pihak, mulai dari China, Rusia, AS, Korsel, dan Jepang. Mereka pusing menghadapi Pyongyang yang tidak terkendali. Koeksistensi damai sepertinya juga tidak menjadi pilihan Kim Jong Un.

Banyak faktor yang memengaruhi perkembangan Semenanjung Korea. Ini antara lain mulai dari persepsi dua Korea tentang isu eksistensi ancaman hingga tumbuhnya identitas Korut dengan isu senjata nuklir, termasuk teknologi rudal. Isu Korea ini menambah persoalan di tengah masalah dalam hubungan China-Rusia, China-AS, China-Jepang, Korsel-Jepang yang ternyata tidak mampu menghadirkan détente di Semenanjung Korea.

Selama stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea bisa dipertahankan dalam bentuk dan lingkupnya oleh semua pihak, selama itu juga militerisasi dan nuklirisasi di kawasan akan menjadi topik utama ketimbang reunifikasi dua Korea. Semua pihak tidak bisa membayangkan Korea bersatu menjadi sebuah gabungan kekuatan ekonomi dan perdagangan dengan kekuatan persenjataan nuklir dan militer. Padahal, unifikasi ini bisa mengubah konstalasi deterensi yang selama ini eksklusif dimiliki lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Walaupun China menjadi faktor menentukan dalam perimbangan dinamis di Semenanjung Korea, ada kekhawatiran ulah Pyongyang dengan meluncurkan roket pekan ini dan rencana uji coba ledakan nuklir akan membawa dampak yang berbeda dengan ketegangan yang terjadi tahun 2006 dan 2009 ketika Korut melakukan uji coba nuklir.

”Diplomasi paksa”

Bagi Pyongyang sendiri, peluncuran roket belum tentu berhasil seperti terjadi pada percobaan peluncuran roket tahun 1998 dan 2009, yang kegagalannya disembunyikan dari rakyat Korut. Teknologi satelit memang tidak berbeda jauh dengan rudal balistik jarak jauh. Semua pihak waswas karena keberhasilan Pyongyang jelas akan membawa perubahan penting bagi siapa saja.

Kegagalan Korut akan menggiring kembali ke meja perundingan. Namun, keberhasilannya mengisyaratkan dua hal: kemajuan langkah teknologi nuklir dan roket yang dimiliki serta kemampuan Korea Utara memberikan alternatif bagi teknologi pembangkit tenaga nuklir bagi negara-negara yang ingin memiliki seperti Suriah dan Iran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com