Muhammad Saad el-Katatny, Sekretaris Jenderal Partai Kebebasan dan Keadilan yang menjadi sayap politik Ikhwanul Muslimin, terpilih sebagai ketua parlemen pascarevolusi.
Meskipun demikian, realitas sosial-politik di luar parlemen masih menyisakan setumpuk persoalan. Masih ada perbedaan antara demokrasi secara prosedural di parlemen dan demokrasi secara substansial dalam realitas sosial masyarakat.
Apakah dinamika politik di parlemen akan mencerminkan realitas sosial-politik dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan hak-hak sipil, baik pada kelompok mayoritas maupun minoritas?
Kubu islamis, baik Ikhwanul Muslimin maupun Salafi, merupakan suara mayoritas di parlemen. Jika dikumpulkan, jumlah suara kubu islamis di parlemen mencapai 72 persen. Sementara kubu liberal, kiri, dan moderat hanya 28 persen suara. Muncul kekhawatiran, kepentingan kaum islamis akan mendominasi kebijakan publik.
Fenomena itu tampak dalam rapat paripurna pertama anggota parlemen terpilih, tatkala kubu Salafi meminta pimpinan sidang sementara, Muhammad el-Saqa, untuk memasukkan klausul ”bersumpah berdasarkan syariat Allah” dalam materi sumpah jabatan setiap anggota parlemen.
Sebelumnya, dalam naskah sumpah jabatan tidak ada kalimat yang mengharuskan seorang anggota parlemen terpilih mengucapkan klausul tersebut, apalagi tidak semua anggota parlemen beragama Islam.
Kondisi itu adalah gambaran perdebatan yang lebih serius di parlemen, terutama dalam upaya menegakkan prinsip kesetaraan dalam paradigma kewarganegaraan. Kubu Salafi yang memperoleh 25 persen suara bisa menjadi ganjalan serius membangun nasionalisme.