Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jurnalisme dan Media Sosial

Kompas.com - 24/09/2011, 02:16 WIB

Lepas dari masalah ekonomi media yang perlu pengamatan lebih dalam dan lebih cermat, antara jurnalisme dan media sosial ini juga menghasilkan sejumlah tantangan ke depan, terutama terkait dengan kualitas jurnalisme di kemudian hari.

Ada banyak persoalan

Dalam era ketika penyedia informasi tidak datang hanya dari wartawan, tetapi juga dari orang-orang biasa saja, kita menemukan ada banyak sekali yang kita pertimbangkan sebagai ”informasi”. Terkadang, saking banyaknya, kita seperti menghadapi tsunami informasi dan kita harus bisa sintas untuk tidak diterjang luapan informasi yang ada tersebut.

Banyak contoh yang sudah kita temui di mana kita menemukan item informasi yang tersebar begitu saja, tanpa diverifikasi terlebih dahulu isinya sudah ikut kita sebarkan ke mana-mana. Mulai dari informasi pengobatan gratis, ritual keagamaan, informasi asal-muasal konflik (dalam kasus Ambon belakangan ini), dan lain-lain. Belakangan kita baru mengetahui bahwa itu adalah kabar bohong, yang akan merugikan orang-orang tertentu.

Pertanyaannya: apakah sikap kita yang mudah berbagi (informasi dalam hal ini) tidak sedang turut berpartisipasi pula dalam mengkreasi kecemasan massal ataupun kebohongan bersama? Padahal, sesungguhnya kita tidak cukup yakin apakah berita yang kita teruskan itu adalah berita yang akurat atau tidak.

Di sini unsur dasar dari jurnalisme dibutuhkan: verifikasi! Di sinilah peran wartawan tetap diperlukan. Wartawan harus bisa memverifikasi informasi sebelum tersebar luas, yang kemudian malah dapat menghasilkan kebingungan.

Belum lagi ketika suatu berita muncul dan mengabarkan tindak-tanduk seseorang yang buruk—apakah itu korupsi, menganiaya, dan lain-lain. Padahal, orang yang disebut dalam berita itu tidak serta-merta mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi atau minimal menyampaikan apa yang jadi versi dia untuk masalah tersebut.

Namun, pada kenyataannya, kecepatan untuk melakukan verifikasi kalah cepat dengan tersebarnya informasi tersebut ke berbagai arah. Lalu, apakah koreksi atau imbangan informasi yang menyusul akan bisa mengalahkan kecepatan penyebaran berita terdahulu?

Pertanyaannya: apakah ini kondisi yang adil? Jika tidak, bagaimana jurnalisme masa kini menangani hal tersebut? Rasanya ini suatu pertanyaan yang yang tidak mudah dijawab.

Persoalan yang cukup mendasar di sini adalah seberapa banyak isi dari jurnalisme mengisi media sosial yang ada? Bagaimana membedakan jurnalisme dengan isi media yang lain seperti tips, gosip, hingga berita yang dikreasi untuk tujuan tertentu oleh pihak-pihak tertentu. Betulkah jurnalisme masih dominan dalam era media sosial seperti sekarang? Jika tidak, apa yang lalu akan kita lakukan: mensyukurinya atau membuat kita malah prihatin?

Masih ada banyak persoalan lain yang kita temui dalam melihat persoalan antara jurnalisme dan media sosial. Namun, ini memang suatu pertanda munculnya era baru dalam dunia media komunikasi, menantang kita untuk lebih mendalaminya, dan mencoba memahami serta kembali pada esensi utamanya: untuk apa komunikasi diciptakan? Untuk memudahkan manusia berhubungan dengan manusia lain, untuk lebih ”memanusiakan manusia”, atau malah menghasilkan dehumanisasi?

Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif LSPP Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com