Implikasi geopolitik dan ekonomi perang di Libya, yang dipimpin Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), melawan rezim Moammar Khadafy amat luas. Sejak Perancis memulai intervensi militernya pada 19 Maret dan diambil alih NATO pada 31 Maret, sebagian infrastruktur vital Libya hancur.
Bumi Libya terluka oleh 20.000 bom dan roket, termasuk 7.500 yang menarget basis Khadafy. Sarana komunikasi, listrik, air bersih, transportasi, depot, dan kilang minyak banyak yang rusak. Jutaan warga pun mengungsi.
Perancis dan sekutu Barat-nya kala itu, yakni Inggris dan Amerika Serikat, mengatakan, intervensi militer perlu untuk melindungi rakyat sipil. AS kemudian surut, tetapi Perancis tetap
Jean Christophe Peaucelle, Wakil Direktur Afrika Utara dan Timur Tengah di Kementerian Luar Negeri Perancis, menegaskan, dunia tidak perlu meragukan kemurnian misi Perancis itu. ”Perancis terlibat karena ingin melindungi rakyat sipil Libya dari kekejaman loyalis Khadafy,” kata Peaucelle, dalam wawancara dengan
Peaucelle menegaskan, tidak ada motif politik dan ekonomi, kecuali misi kemanusiaan, agar tidak semakin banyak darah rakyat membasahi tanah Libya.
Belakangan, semakin timbul keraguan dari publik internasional atas motif utama intervensi asing itu. Rusia, India, China, Jerman, dan sebagian Liga Arab, misalnya, menolak intervensi asing. Dari 28 negara sekutu NATO pun, delapan yang berperang.
Perancis paling
Keterlibatan militer asing, Perancis, dan NATO memiliki misi tersembunyi. Ada ”udang” di balik keterlibatan mereka di Libya. Profesor Michel Chossudovsky dari Center for Reasearch on Globalization mengatakan, operasi militer asing di Libya adalah perang demi minyak. Menurut dia, minyak adalah trofi dari perang itu (globalresearch.ca).
Libya adalah salah satu negara penghasil minyak yang menyumbang 3,5 persen terhadap sumber minyak global. Menurut
Jika Perancis dan sekutunya kelak berhasil mendorong oposisi menjatuhkan Khadafy, mungkin akan ada kesepakatan baru terkait eksplorasi dan eksploitasi minyak di sana. Menurut Chossudovsky, invasi ke Libya adalah gerbang menuju ”Battle for Oil” yang lebih luas di Timur Tengah dan Asia Tengah.
Perusahaan minyak asing di Libya adalah Total (Perancis), ENI (Italia), China National Petroleum Corporation (CNPC), BP, konsorsium minyak Spanyol, yakni Repsol, ExxonMobil, Chevron, Occidental Petroleum, Hess, dan ConocoPhillips. China memainkan peran sentral dalam industri minyak Libya.
Perancis ingin Total mengendalikan minyak Libya jika pemerintahan baru terbentuk. Negara ini seperti pemenang ketika oposisi menerobos jantung pertahanan Khadafy di Tripoli. Bahkan, jauh-jauh hari, Perancis adalah negara pertama yang menempatkan diplomatnya di Benghazi, markas oposisi. Menlu Perancis Alain Juppe mengatakan, kemenangan oposisi memberinya ”kepuasan besar”.