Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Udang di Balik Minyak...

Kompas.com - 26/08/2011, 03:27 WIB

Implikasi geopolitik dan ekonomi perang di Libya, yang dipimpin Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), melawan rezim Moammar Khadafy amat luas. Sejak Perancis memulai intervensi militernya pada 19 Maret dan diambil alih NATO pada 31 Maret, sebagian infrastruktur vital Libya hancur.

Bumi Libya terluka oleh 20.000 bom dan roket, termasuk 7.500 yang menarget basis Khadafy. Sarana komunikasi, listrik, air bersih, transportasi, depot, dan kilang minyak banyak yang rusak. Jutaan warga pun mengungsi.

Perancis dan sekutu Barat-nya kala itu, yakni Inggris dan Amerika Serikat, mengatakan, intervensi militer perlu untuk melindungi rakyat sipil. AS kemudian surut, tetapi Perancis tetap ngotot. NATO mengungkap hal serupa ketika mengambil alih komando dari sekutu Barat, akhir Maret.

Jean Christophe Peaucelle, Wakil Direktur Afrika Utara dan Timur Tengah di Kementerian Luar Negeri Perancis, menegaskan, dunia tidak perlu meragukan kemurnian misi Perancis itu. ”Perancis terlibat karena ingin melindungi rakyat sipil Libya dari kekejaman loyalis Khadafy,” kata Peaucelle, dalam wawancara dengan Kompas di Paris, akhir Juni lalu.

Peaucelle menegaskan, tidak ada motif politik dan ekonomi, kecuali misi kemanusiaan, agar tidak semakin banyak darah rakyat membasahi tanah Libya.

Belakangan, semakin timbul keraguan dari publik internasional atas motif utama intervensi asing itu. Rusia, India, China, Jerman, dan sebagian Liga Arab, misalnya, menolak intervensi asing. Dari 28 negara sekutu NATO pun, delapan yang berperang.

Perancis paling ngotot. Dialah yang pertama menembakkan roketnya ke Tripoli, 19 Maret. Kini Presiden Nicolas Sarkozy (dijuluki media setempat sebagai ”Super Sarko”) menyediakan tempat bagi para petinggi oposisi Libya untuk bertemu di Paris demi membahas masa depan negara kaya minyak itu.

Keterlibatan militer asing, Perancis, dan NATO memiliki misi tersembunyi. Ada ”udang” di balik keterlibatan mereka di Libya. Profesor Michel Chossudovsky dari Center for Reasearch on Globalization mengatakan, operasi militer asing di Libya adalah perang demi minyak. Menurut dia, minyak adalah trofi dari perang itu (globalresearch.ca).

Libya adalah salah satu negara penghasil minyak yang menyumbang 3,5 persen terhadap sumber minyak global. Menurut Oil dan Gas Journal, Libya menyimpan 46,4 persen cadangan minyak Afrika. Lalu ”Operasi Libya” adalah bagian dari agenda militer yang lebih luas di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Jika Perancis dan sekutunya kelak berhasil mendorong oposisi menjatuhkan Khadafy, mungkin akan ada kesepakatan baru terkait eksplorasi dan eksploitasi minyak di sana. Menurut Chossudovsky, invasi ke Libya adalah gerbang menuju ”Battle for Oil” yang lebih luas di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Perusahaan minyak asing di Libya adalah Total (Perancis), ENI (Italia), China National Petroleum Corporation (CNPC), BP, konsorsium minyak Spanyol, yakni Repsol, ExxonMobil, Chevron, Occidental Petroleum, Hess, dan ConocoPhillips. China memainkan peran sentral dalam industri minyak Libya.

Perancis ingin Total mengendalikan minyak Libya jika pemerintahan baru terbentuk. Negara ini seperti pemenang ketika oposisi menerobos jantung pertahanan Khadafy di Tripoli. Bahkan, jauh-jauh hari, Perancis adalah negara pertama yang menempatkan diplomatnya di Benghazi, markas oposisi. Menlu Perancis Alain Juppe mengatakan, kemenangan oposisi memberinya ”kepuasan besar”. (PASCAL S BIN SAJU)

Ada ’udang’ di balik keterlibatan mereka di Libya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com