Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hentikan Pelanggaran Hak-hak Warga Sipil

Kompas.com - 09/08/2011, 01:44 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta lebih mengutamakan dialog daripada pendekatan militeristis dalam menyelesaikan masalah Papua. Pendekatan militeristis justru memancing kekerasan lanjutan. Oleh karena itu, pelanggaran hak-hak sipil harus dihentikan.

”Masalah di Papua sangat kompleks sehingga pemerintah harus serius menanganinya. Ke depankan dialog dengan rakyat Papua. Pelanggaran hak-hak sipil dan ekonomi harus dihentikan serta penting untuk menegakkan hukum terhadap koruptor dan aparat yang melanggar HAM,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti di Jakarta, Senin (8/8).

Menurut Poengky, pendekatan keamanan di Papua seharusnya menggunakan Polri sebagai aparat yang di depan. Polri yang digunakan pun sebaiknya adalah Bimas agar bisa melakukan pendekatan kepada masyarakat.

Secara jangka panjang, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, harus dilakukan dialog dengan semua pemangku kepentingan. Pendekatan keamanan tetap harus dilakukan karena masih ada kelompok bersenjata di beberapa tempat di Papua. Namun, harus ada upaya serius untuk meningkatkan posisi tawar penduduk asli yang termarjinalkan.

Pendekatan keamanan yang digelar oleh pemerintah melalui berbagai sektor dinilai justru melestarikan kekerasan di Papua. Bukan hanya itu, operasi militer selain perang yang digelar TNI, operasi intelijen, dan lahirnya kelompok-kelompok yang diduga dibentuk oleh militer dan pemerintah semakin mempertebal tembok ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada Pemerintah Indonesia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia Markus Haluk di Jayapura mengatakan, pascareformasi sebenarnya posisi militer telah berubah. Namun, peristiwa pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys H Eluay pada 2001 yang melibatkan tentara menunjukkan fakta berbeda.

Menurut Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut, kehadiran militer dan operasi intelijen di Papua justru membuat rakyat kian menderita. Di banyak pelosok Papua, orang lebih mudah menemukan tentara daripada guru atau tenaga kesehatan. Sebagian pos mereka berada di permukiman warga.

Aspirasi kultural inisiatif masyarakat Papua, yaitu Dewan Adat Papua (DAP), diganggu dengan hadirnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang dibentuk pemerintah. ”Pertimbangannya apa membentuk LMA, toh masyarakat telah memiliki DAP. Artinya, itu hanya untuk membikin kacau,” kata penggiat HAM di Papua, Pastor John Jonga Pr.

Parahnya, stigmatisasi justru dilekatkan kepada masyarakat Papua saat masyarakat menyerukan hak-hak politik mereka. Saat ini, setidaknya ada 20 orang asli Papua ditahan dan divonis dengan tuduhan makar. Oleh karena itu, dalam Konferensi Perdamaian Tanah Papua, masyarakat asli Papua menyepakati peniadaan operasi intelijen yang intimidatif dan memberikan rasa tidak aman serta pengurangan pasukan non-organik.

Bagi mereka, dialog adalah sarana yang tepat untuk mencari solusi. ”Tidak perlu takut dengan tuntutan merdeka. Dalam dialog, tidak ada yang tidak bisa dibicarakan. Tidak ada harga mati,” kata Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay.

(jos/edn/rwn/fer/dik/nta/why/iam)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com