Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belanda Tak Seindah yang Dibayangkan

Kompas.com - 04/08/2011, 12:19 WIB

KOMPAS.com — "BERAT badan saya turun beberapa kilo ketika saya menjadi petugas pembersih kamar sebuah hotel di Amsterdam. Saya waktu itu sempat frustrasi karena tidak mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahlian saya. Terutama juga karena saya mendapat perlakuan tak manusiawi," tutur Andhira (bukan nama sebenarnya) kepada Radio Nederland.

Andhira, lulusan salah satu universitas di Indonesia, tinggal di Amsterdam karena menikah dengan pria Belanda. Ia tidak menyangka akan mendapat pekerjaan seperti itu. Andhira membayangkan Belanda adalah "surga" dan gampang mendapat pekerjaan sesuai dengan keahliannya sebagai sarjana bahasa Inggris.

Menurut laporan wartawan Radio Nederland, Pritha Riadhini, Selasa (2/8/2011), Andhira tidak sendirian. Banyak sarjana (terutama perempuan) asal Indonesia yang kecewa karena tidak memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Untuk mencari pekerjaan yang sesuai, kadang mereka terbentur masalah diskriminasi dan bahasa.

Masalah itulah yang kadang menyebabkan seseorang frustrasi. Demikian diungkapkan Dian Padma, sosiolog yang meneliti depresi di kalangan kaum migran atas perintah Salland Verzekering (Perusahaan Asuransi Salland).

Penelitiannya menyangkut kaum migran keturunan Turki. Kendati demikian, ia juga melirik apa akibat diskriminasi ini terhadap migran yang berasal dari Indonesia.

"Memang kami pernah membaca tentang negara tujuan, tapi tetap saja ketika sampai di sini tidak sesuai dengan gambaran yang kami bangun dari negara asal. Jadi, kami mulai belajar dari awal tentang semua hal, mulai dari iklim, makanan, dan terutama bahasa," tutur Dian.

Faktor bahasa inilah, lanjutnya, yang menjadi faktor utama dan persoalan besar di antara kaum migran. Nah, faktor bahasa ini yang menjadi kunci di segala macam bidang. Kalau tidak menguasai bahasa yang baru, tidak bisa mengikuti pendidikan dan tidak bisa bekerja.

"Di sisi lain, para pemberi kerja di negara baru juga melihat. Misalnya kalau saya memiliki dua kandidat, satu orang Indonesia dan satu orang Belanda. Mungkin secara pendidikan, orang Indonesia harus menyesuaikan dengan tingkat pendidikan yang diharapkan oleh orang Belanda."

Mereka lebih menentukan pilihan kandidat orang Belanda sendiri daripada calon pegawai asing karena masalah bahasa. "Nah, itu awal dari diskriminasi".

Prasangka

Selain itu, diskriminasi, tuturnya, juga berasal dari prasangka bahwa orang asing itu tidak memiliki keterampilan pengetahuan sesuai dengan tingkat pengetahuan orang Belanda sendiri. Itulah gambaran yang dimiliki oleh orang Belanda.

"Ketika saya, misalnya, melihat ada vacature (lowongan) pekerjaan, dan kemudian saya melamar dengan nama asing saya, pemberi  pekerja juga akan melihat nama saya. Oh, ini orang asing. Kemudian, mereka sudah memiliki gambaran tertentu tentang orang asing."

Sama saja dengan di Indonesia. Kalau orang asing atau orang berkulit putih masuk ke Indonesia, orang Indonesia sudah memiliki gambaran bahwa orang asing itu lebih pintar dibandingkan dengan orang Indonesia sendiri. Karena itu, mereka lebih mudah diterima di Indonesia.

 

Kelompok migran Indonesia lebih memiliki fleksibilitas dari sisi psikologis. Dan, banyak di antara migran Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi ternyata tidak dihargai sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. "Misalnya ada dokter gigi dari Indonesia yang bekerja di pabrik atau sarjana lain yang bekerja di tempat yang tidak membutuhkan tingkat pendidikan sama sekali. Itu, kan, juga membuat orang Indonesia frustrasi. Secara psikologis mereka tidak puas dengan kehidupan di sini dan menyebabkan relasi mereka dengan suami, anak, dan masyarakat Belanda sendiri menjadi negatif," tutur Dian, mantan dosen di Universitas Gadjah Mada tersebut.

Ada yang kemudian menerima. Namun, kalau lebih jauh diteliti, mereka juga frustrasi menghadapi blokade untuk bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Jumlahnya sangat banyak.

Intinya, perempuan Indonesia tidak selalu bisa menerapkan keterampilan dan pendidikan mereka di Belanda. Namun, dibandingkan dengan migran perempuan Turki yang diteliti Dian, migran Indonesia memiliki paling tidak ijazah SMA yang lebih tinggi daripada orang Turki. Untuk soal adaptasi, orang Indonesia bisa lebih melakukan itu dibandingkan dengan migran Turki.

Perempuan migran Indonesia lebih mudah diterima dibandingkan dengan migran Turki. Hal ini karena ada pernikahan dengan orang asli Belanda sehingga ada interaksi yang lebih tinggi dengan masyarakat sekitar.

Untungnya, Andhira kini sudah mendapat pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian dan pendidikannya. Berat badannya tak perlu turun lagi karena frustrasi memikirkan nasibnya. Andhira merupakan salah satu yang beruntung. Namun, bagaimana migran lain yang tak seberuntung Andhira?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com