KOMPAS.com - Monarki di Timur Tengah tengah diguncang. Rakyat menuntut keleluasaan dari cengkeraman kerajaan. Makanya, demokratisasi menjadi tawaran Raja Maroko Mohammed VI.
Menurut warta AP dan AFP pada Sabtu (18/6/2011), Mohammed VI mengajukan proposal dasar reformasi perubahan konstitusi Maroko. Dalam proposalnya, ia mengatakan kekuasaannya akan dikurangi. Ia pun berjani menambah porsi otoritas kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah dan parlemen.
Raja Mohammed VI mengungkapkan rencana ke depannya itu dalam sebuah pidato yang ditujukan kepada seluruh warga Maroko. Pidatonya itu muncul tiga bulan setelah dia menjanjikan kajian ulang keberadaan konstitusi saat ini setelah mendapat desakan dari masyarakat yang gencar melakukan aksi protes.
Dalam pidatonya dia mengatakan masa depan Maroko akan menjadi negara demokratis, negara yang berdasar hukum dan mengedepankan kekuasaan parlemen. Namun, dia juga mengatakan bahwa dirinya masih akan memegang kendali angkatan bersenjata dengan menduduki posisi panglima angkatan bersenjata Maroko. Raja Mohammed VI dalam kesempatan itu juga mengatakan bahwa bahasa Berber akan menjadi bahasa resmi berdampingan dengan bahasa Arab.
Namun begitu, kepastian apakah warga Maroko akan menyetujui atau tidak proposal Raja Muhammed VI ini baru akan diputuskan lewat jajak pendapat yang akan dilakukan dua minggu lagi.
Sejumlah aktivis prodemokrasi di Maroko menyatakan ketidakpuasannya atas usulan perubahan itu. "Sebelumnya kita memiliki monarki absolut, sekarang kita juga masih memiliki monarki absolut," kata aktivis prodemokrasi Maroko, Elaabadila Chbihna.
Sebelumnya sejak Februari lalu sejumlah aktivis setiap minggu melakukan aksi unjuk rasa di seluruh Maroko menuntut perubahan di negara tersebut.
Saat ini selain dihadapkan pada sistem kekuasaan yang tidak demokratis, negara itu juga sedang menghadapi sejumlah persoalan ekonomi seperti tingginya angka pengangguran dan meningkatnya angka kemiskinan.