Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Hikayat Osama

Kompas.com - 04/05/2011, 04:16 WIB

Aliansi ini memanfaatkan milisi sipil orang-orang Arab di Timur Tengah yang nanti disebut Arab Afgan. Dalam kelompok ini ada Osama bin Laden dan gurunya, Abdullah Azzam. Dalam konteks inilah Osama dipakai dan dibentuk untuk melawan tentara Soviet.

Namun, setelah kongsi politik pecah, milisi Arab Afgan—yang pada kemudian hari di tangan Osama menjadi Tanzim Al Qaeda ini—melancarkan aksi teror di negara-negara yang sebelumnya sohib mereka: di AS terjadi peristiwa 11 September 2001, di Arab Saudi serangan di Riyadh, dan kekerasan-kekerasan lain di Pakistan. Kita pun disadarkan, pihak yang memanfaatkan kelompok dan milisi kekerasan untuk menghadapi lawan akhirnya akan membalikkannya kepada mereka yang melahirkannya.

Tiba-tiba saya teringat nasib Sang Imam, tokoh dalam novel yang ditulis oleh Nawal el Saadawi berjudul Suqûth al-Imâm atau Jatuhnya Sang Imam. Novel ini berkisah tentang seorang pemimpin (imam) politik dan agama yang memiliki anak dari hubungan gelap. Imam ini tidak mau mengakui anaknya itu dan membungkus dirinya dengan pencitraan moral. Akhirnya imam itu mati di tangan anak yang diingkarinya.

Novel Saadawi tersebut sebenarnya alegori untuk kekuasaan yang jatuh dalam hubungan gelap dengan kemunafikan dan kekerasan. Novel ini terinspirasi oleh kematian Sadat, Presiden Mesir yang ditembak mati kelompok garis keras Tanzim Al Jihad dan Jemaah Islamiyah, Oktober 1981.

Bagi Saadawi, kelompok-kelompok Islam garis keras di Mesir itu merupakan ”anak haram” yang lahir dari rahim politik Sadat. Kelompok-kelompok itu awalnya didukung penuh oleh Sadat. Mereka dimanfaatkan dalam konfrontasi melawan Israel, sementara di dalam negeri mereka dipakai untuk mengebiri kekuatan nasionalisme (kiri) Gamal Abdul Nasser, Presiden Mesir sebelum Sadat.

Seperti Sang Imam yang berkedok moralitas agama dan akhirnya jatuh oleh anaknya yang berasal dari hubungan gelap, politik luar negeri AS juga sering berlindung di balik nilai-nilai luhur, seperti kebebasan dan demokrasi, tetapi tak jarang memanfaatkan kelompok garis keras atau menggunakan kekerasan yang mereka daku untuk menyebarkan nilai-nilai luhur itu.

Memutus rantai kekerasan

Dari penjelasan itu, saya tidak hendak mengajak pembaca untuk memaklumi kekerasan. Saya tidak ingin mengatakan aksi-aksi terorisme hanyalah reaksi belaka atau balas dendam yang dilancarkan oleh pelakunya karena sasarannya dituding punya saham dalam kekerasan itu.

Korban terorisme, khususnya masyarakat sipil, tidak terkait sama sekali dengan kekerasan. Namun, dalam konteks ini mereka bukan hanya korban pelaku teror, melainkan juga korban dari kebijakan politik pemerintah mereka yang bisa dijadikan dalih untuk balas dendam.

Untuk itulah mata rantai kekerasan harus diputus bukan dengan cara kekerasan dilawan dengan kekerasan. Cara ini akan semakin memperpanjang mata rantai kekerasan. Segala penggunaan potensi kekerasan sejak awal harus ditentang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com