Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Irasionalitas dan Rasisme di Politik AS

Kompas.com - 02/05/2011, 04:05 WIB

DAHONO FITRIANTO

Kontroversi tempat kelahiran Presiden AS Barack Obama, yang begitu ramai beberapa pekan terakhir, mengundang tawa sekaligus rasa prihatin mendalam. Bagaimana bisa negara dengan tradisi demokrasi dan masyarakat madani secanggih itu bisa terjerumus dalam debat yang begitu tidak bermutu?

Mempertanyakan keabsahan seseorang menjadi kepala pemerintahan suatu negara, apalagi negara terkuat dan paling berpengaruh di dunia, itu sah-sah saja. Konstitusi Amerika Serikat (AS) jelas menyebutkan, presiden dan wakil presiden AS harus warga negara AS yang lahir di wilayah AS.

Para penggagas dan simpatisan gerakan ”birther” pun mempertanyakan keabsahan Obama sebagai presiden AS karena menduga presiden kulit hitam pertama AS itu tak dilahirkan di wilayah AS. Ada yang bilang dia lahir di kampung halaman ayahnya di Kenya. Ada pula yang menduga dia lahir di Indonesia.

Namun, saat bukti-bukti konkret dalam jumlah berlimpah telah ditunjukkan dan orang- orang ini tetap ngotot dengan berbagai macam alasan, pasti ada sesuatu yang salah. Terakhir, setelah Gedung Putih menunjukkan sertifikat akta kelahiran versi panjang, yang dituntut oleh Donald Trump, orang-orang ini kembali berkoar meragukan keaslian akta tersebut.

Orly Taitz (50), pengacara berdarah Rusia yang dijuluki Ratu Birther, mengatakan, pada bagian isian ras dalam akta kelahiran tersebut tertulis ”African” untuk menunjukkan ras ayah Obama (yang memang asli Afrika). Padahal, menurut dia, pada tahun 1961 saat Obama dilahirkan, belum ada aturan kesopanan untuk menyebut orang kulit hitam sebagai ”African”.

”Tahun itu, saat orang menuliskan ras (dalam akta kelahiran), mereka akan menulis ’Negro’, bukan ’African’. Sepertinya (akta kelahiran) itu ditulis zaman sekarang,” tutur Taitz, seperti dikutip laman berita komunitas warga Afrika-Amerika di AS, TheGrio.com.

Wajar saja jika muncul dugaan ada motif rasisme di balik kontroversi ini. Reporter Rachel Rose Hartman menulis di kolom politik The Ticket di Yahoo!News, Rabu (27/4), Obama adalah presiden pertama AS yang dipertanyakan kewarganegaraannya.

Bahkan saat rival Obama dalam pemilu presiden 2008, Senator John McCain dari Partai Republik, menghadapi pertanyaan yang sama waktu itu, isunya segera menguap setelah pengacaranya menyatakan dia sah menjadi calon presiden (capres). McCain sempat dipermasalahkan karena lahir di pangkalan udara milik Angkatan Laut AS di Zona Terusan Panama di Panama.

Mengakar dalam

Peniel Joseph, profesor sejarah dari Tufts University, Boston, mengakui, ada isu rasisme yang keji dan sudah mengakar dalam pada proses delegitimasi Presiden Obama melalui isu tempat kelahiran ini. ”Ini lebih dari sekadar konspirasi. Saya pikir, secara mendasar ini terkait dengan supremasi kulit putih di negeri ini,” tutur Joseph.

Wartawan dan kolumnis Michael Tomasky, dalam tulisannya di The Guardian, mengatakan, ribut-ribut soal akta kelahiran Obama ini adalah suatu ”kegilaan”. Menurut dia, ada sekelompok orang di AS yang menganggap Obama adalah bagian dari kelompok liyan (Others), yang menurut mereka tak akan bisa menjadi presiden AS.

”Dan jika Anda kira (isu) ras tidak ada hubungannya dengan ini, tanyakan kepada diri Anda sendiri apakah konspirasi ’birther’ ini akan terjadi andai Barack Obama berkulit putih dan bernama Bart Oberstar,” tulis Tomasky.

Jajak pendapat yang digelar The New York Times-CBS News pekan lalu menunjukkan, sedikitnya satu dari empat warga AS dan 45 persen pendukung Partai Republik percaya bahwa Obama tidak lahir di wilayah AS.

Sebuah studi yang dilakukan University of Delaware juga menunjukkan, sebagian warga kulit putih AS menganggap Obama ”kurang Amerika” dibandingkan dengan Wakil Presiden Joe Biden yang kulit putih. Pandangan tersebut kemudian berdampak pada penilaian negatif mereka akan kinerja Obama sebagai presiden.

”Media sudah sering berspekulasi bahwa berbagai kritik terhadap Obama akhir-akhir ini lebih terkait dengan rasnya daripada programnya. Kami yakin, hasil (studi) terbaru ini membuktikan fakta menyedihkan bahwa (spekulasi) itu benar,” demikian bunyi kesimpulan studi tersebut.

Sejak kampanye

Pertanyaan soal asal-usul Obama ini sudah muncul sejak dia maju berkampanye sebagai capres dari Partai Demokrat, lebih dari dua tahun lalu. Belakangan, isu ini memanas setelah pengusaha real estat Donald Trump, yang sedang mencari-cari celah untuk bisa maju sebagai capres dari Partai Republik, turut mengangkat soal ini.

Sejak itu, tak sedikit orang bersaksi bahwa Obama benar-benar lahir di Hawaii, AS. Media pun berlomba-lomba membuat investigasi untuk mencari bukti-bukti yang dibutuhkan.

CNN mewawancarai Profesor Alice Dewey dari University of Hawaii, yang pernah menjadi pembimbing ibu Obama, Stanley Ann Dunham.

Menurut Dewey, dia kenal Obama sejak masih kecil dan suatu saat pernah mendengar Dunham bercerita tentang pengalaman melahirkan Obama di Hawaii dan adiknya, Maya Soetoro, di Jakarta. ”Dia bilang, ’Waktu saya melahirkan Maya, rasanya jauh lebih sulit karena di Indonesia tidak boleh memberikan (obat) penghilang rasa sakit saat melahirkan. Di AS, melahirkan Barry (panggilan Obama masa kecil) jauh lebih nyaman.’,” tutur Dewey.

   Kengototan dan sikap keras kepala yang konyol dari kelompok ”birther” inilah yang membuat Obama awalnya enggan menanggapi terlalu serius. ”Saya tahu bahwa dokumen ini pun tak akan memuaskan sekelompok orang yang tidak akan pernah menghentikan isu ini, apa pun yang kami lakukan,” tutur Obama dalam pidato singkat, Rabu lalu. (AP/AFP/Reuters)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com