Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Fogging" Sembarangan Justru Berbahaya

Kompas.com - 15/04/2011, 11:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Penyemprotan atau fogging untuk memberantas nyamuk aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue (DBD) bisa berbahaya jika dilakukan tanpa prosedur. Selain bisa menyebabkan orang yang menghirup gas semprotan keracunan, fogging juga berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem.

Karena itu, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur mengimbau warga agar menghentikan aktivitas fogging. Sebab, saat ini masih banyak warga yang melakukan penyemprotan tanpa berkoordinasi dengan instansi tersebut. Padahal, hal itu sangat berbahaya.

"Kalau saya perhatikan sekarang, masih banyak warga yang melakukan fogging sembarangan. Masyarakat melakukan sendiri tanpa berkoordinasi dengan petugas kesehatan, baik tingkat sudin kesehatan maupun di puskesmas," ujar Yenuarti Suaizi, Kepala Suku Dinas Kesehatan Jaktim, Jumat (15/4/2011).

Koordinasi sangat diperlukan mengingat ada standar campuran untuk fogging. Minimal, cairan dan obat yang digunakan sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Selain itu, kata Yenuarti, fogging biasanya dilakukan jika ada warga yang terkena DBD di suatu wilayah. Itu pun harus ada surat keterangan dari dokter rumah sakit atau puskesmas. Nantinya, kata Yenuarti, dokter akan turun ke alamat korban untuk melakukan observasi. Biasanya petugas akan mengecek apakah di lingkungan sekitar rumah penderita DBD ini ada warga lain yang mengalami demam tinggi atau tidak.

Jika ada, dapat diindikasikan penularan DBD itu dimulai dari lingkungan tersebut. Terlebih jika ditemukan juga jentik-jentik nyamuk dalam jumlah banyak. Dalam kondisi demikian, petugas kesehatan akan melakukan penyemprotan.

"Namun, jika hasil penyelidikan epidemiologi (PE) itu negatif, tidak boleh dilakukan fogging. Jika tetap dilakukan, justru akan merusak eksositem yang ada, seperti mematikan sejumlah serangga," tuturnya.

Berdasarkan data Sudin Kesehatan Jaktim, sepanjang tahun ini DBD di wilayah itu mencapai 682 kasus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com