Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TAJUK RENCANA

Kompas.com - 18/03/2011, 03:00 WIB

Bencana dan Karakter Bangsa

Every cloud has a silver lining– Setiap awan punya celeret peraknya. Kalimat itu bermakna terus berharap karena saat sulit akan mengantar ke hari-hari yang lebih baik.

Itulah yang selalu ingin kita sampaikan di kala kita dirundung duka, termasuk sahabat kita, Jepang, dilanda kesulitan. Analis memperkirakan, Jepang bahkan mungkin akan bangkit dengan kekuatan, kecerdikan, dan semangat baru setelah bencana gempa, tsunami, dan krisis nuklir. Revival atau hidup kembali setelah menerima pukulan dahsyat menjadi harapan yang tidak saja disampaikan pengamat luar, tetapi tentu juga oleh rakyat Jepang yang kini masih berjuang untuk keluar dari suasana duka.

Keyakinan Jepang bisa keluar dari masa sulit kita ikuti dari berbagai pihak yang mengenal karakter Jepang yang kuat, tegar, dan penuh solidaritas. Salah satu penuturan tentang karakter Jepang dilukiskan mahasiswi Indonesia—Rouli Esther Pasaribu—yang belajar sastra Jepang.

Dalam surat elektroniknya, Esther mengangkat slogan gambaru, yang ia percayai telah menguatkan bangsa Jepang dalam menghadapi kesulitan. Gambaru dalam bahasa Jepang berarti bertahan sampai ke mana pun juga dan berusaha habis-habisan. Dalam kata tersebut, ada dua elemen utama, yakni ”keras” dan ”mengencangkan”. Jadi dengan semangat gambaru, seberat apa pun persoalan yang dihadapi, kita harus keras dan mengencangkan diri, agar kita bisa menang atas persoalan tersebut.

Tulisan itu inspiratif dan menguatkan. Kita yang hidup di kawasan Cincin Api dan rawan bencana, seperti gempa dan tsunami serta letusan gunung berapi, dirasa perlu juga memiliki semangat gambaru. Di milis Alumni ITB, pakar gunung berapi Surono menanggapi, sebetulnya kita sudah memperlihatkan semangat seperti yang diperlihatkan Jepang melalui gambaru di atas. Yang disaksikan Surono tatkala terjadi gempa Yogya 2006, juga tsunami Aceh tahun 2004, dan yang terakhir saat letusan Gunung Merapi 2010 juga memperlihatkan keteguhan, ketegaran, dan solidaritas seperti yang saat ini diperlihatkan bangsa Jepang.

Ketika tantangan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia masih akut seperti sekarang ini, tidak terbatas pada ancaman bencana alam, tetapi kemiskinan yang masih dirasakan petani, nelayan, dan buruh, semangat berusaha keras untuk memeranginya harus kita miliki.

Sebagian pengamat peradaban menilai budaya kita cenderung lebih condong pada kehidupan alam tropis yang cepat lelah, suka bersantai, dan kurang tegar, serta tidak terbiasa bersaing mencapai yang terbaik. Kita yang hidup di Asia Tenggara/Selatan juga dilihat kalah unggul dibandingkan dengan bangsa yang hidup di Asia Timur yang banyak menggunakan sumpit. Tanpa bermaksud memperlemah diri, apa yang kita dengar dan baca hari-hari ini, baik untuk kita simak dan renungkan. Kita coba bertanya, apa persiapan kita, atau bagaimana kita harus bersikap jika satu saat nanti dihadapkan pada ujian hebat seperti yang kini sedang dihadapi bangsa Jepang.


***

Menunggu Perubahan Suriah

Barangkali terlalu pagi mengatakan bahwa Suriah akan mengikuti jalan Mesir: terjadi penurunan kepemimpinan nasional oleh rakyat.

Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri bahwa efek domino dari revolusi—ada yang lebih senang menyebut reformasi—Tunisia yang kemudian diikuti Mesir juga menembus negara-negara lain di kawasan Timur Tengah.

Boleh dikatakan, nyaris tidak ada satu pun negara di kawasan Timur Tengah dan Teluk yang kini tidak menghadapi tuntutan rakyatnya akan perlunya perubahan. Setiap negara menghadapinya dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memilih cara lunak, kooperatif, bahkan antisipatif. Namun, ada juga yang memilih jalan kekerasan untuk menghadapi rakyatnya sendiri yang menuntut perubahan.

Apa yang terjadi di Libya merupakan salah satu contoh bagaimana penguasa menjawab tuntutan rakyatnya dengan tindakan tegas dan keras, serta tidak tanggung-tanggung membasmi para penuntut perubahan yang dianggap sebagai pemberontak. Moammar Khadafy bukanlah Hosni Mubarak yang menyerah kalah dari tuntutan rakyatnya. Khadafy bersikap tegas, dan bertekad bertahan hidup atau mati mempertahankan kekuasaannya.

Jordania, misalnya, mengantisipasi tuntutan perubahan dari rakyatnya dengan melakukan serangkaian perubahan politik; mengganti sejumlah menteri; meskipun perubahan-perubahan itu masih dianggap kurang. Hal yang sama juga dilakukan oleh rakyat Suriah.

Gerakan menuntut perubahan di Suriah, memang, belum begitu kentara dan kuat serta terang-terangan. Tetapi, bukankah sebuah revolusi tidak terjadi begitu saja, tanpa sebuah persiapan yang matang. Revolusi terjadi lewat sebuah persiapan yang tidak cukup sehari-dua hari, seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan, tetapi bisa jadi setahun-dua tahun.

Jika muncul tuntutan perlunya reformasi politik di Suriah, itu merupakan sebuah kewajaran. Kekuasaan politik di negeri tersebut hanya di tangan elite politik. Oposisi ditekan. Memang dibandingkan zaman Hafez al-Assad, ayahnya yang dianggap otoriter, Suriah sekarang ini sudah ada perubahan di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad.

Sejak berkuasa tahun 2000, Bashar membebaskan banyak tahanan politik, pengekangan terhadap media pun mulai dikendurkan. Debat-debat politik juga diperbolehkan. Namun, semua itu masih dalam batas minimum. Pemerintah dan partai yang berkuasa, Baath, tetap menguasai media dan sensor terhadap media asing.

Wajarlah kalau kemudian ada tuntutan reformasi politik. Tahun ini dijadwalkan ada pemilihan anggota parlemen dan dewan kota yang diharapkan akan menjadi momentum perubahan. Bashar sendiri akan habis masa jabatannya pada tahun 2014. Kita tunggu perubahan itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com