Jakarta, Kompas
Ledakan hidrogen itu memang mengeluarkan zat-zat radioaktif, tetapi jumlahnya sangat kecil. Ketika menyebar luas ke udara dan semakin jauh terbawa angin, konsentrasi radioaktif tersebut semakin kecil.
Radioaktif tersebut tidak akan menyebar ke Indonesia. Berdasarkan kajian Badan Pengawas Tenaga Nuklir Indonesia (Bapeten), Senin (14/3), angin dari Fukushima bertiup ke barat laut. Kalaupun zat radioaktif dalam konsentrasi kecil tersebut terbawa angin, daerah di barat laut Jepang, seperti China dan Rusia, adalah yang berpeluang terpapar zat radioaktif lebih dulu.
Adapun pemodelan yang dilakukan Australia Radiation Service menunjukkan, pada Selasa (15/3), tiupan angin ke arah timur hingga ke timur laut. Oleh karena itu, materi radioaktif yang berasal dari
”Jangkauan zat radioaktif tidak akan sampai ke Filipina, apalagi ke kawasan Indonesia,” ujar Mohammad Dhandhang Purwadi, Kepala Bidang Pengembangan Reaktor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Selasa.
Guru Besar Bidang Reaktor Nuklir dari Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung Zaki Su’ud mengatakan, unsur radioaktif banyak terdapat di alam dan sekitar kita, termasuk dalam tubuh manusia. Zat radioaktif yang ada di alam, antara lain, karbon-14, radon-222, dan
Dalam setahun, paparan zat radioaktif dari alam bisa mencapai 2,4 milisieverts (mSv). Jika paparan zat radioaktif akibat ledakan nuklir sama dengan yang ada di alam atau lebih rendah, hal itu dianggap tidak mengkhawatirkan.
”Debu yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap justru memiliki tingkat radiasi 100 kali lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan radiasi dari PLTN untuk menghasilkan energi yang sama,” ungkapnya. Zat radioaktif yang dihasilkan dari pembakaran batu bara adalah uranium dan
Ketua Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada, Sihana menegaskan, ledakan yang terjadi di PLTN Fukushima bukanlah ledakan nuklir, melainkan ledakan hidrogen.
Hidrogen yang menjadi
Jika ledakan yang terjadi di Fukushima adalah ledakan nuklir, reaktor nuklirnya akan hancur seperti yang terjadi dalam kasus ledakan PLTN Chernobyl di Ukraina pada 1986.
Sihana menambahkan, Badan Keselamatan Nuklir dan Industri (NISA) Jepang telah menetapkan ledakan di PLTN Fukushima
Oleh karena itu, daerah rawan yang ditetapkan otoritas setempat hanya sekitar 30 kilometer dari pusat ledakan. Penentuan daerah rawan ini tidak semata dilakukan otoritas Jepang saja, tetapi juga dipantau oleh tim keamanan nuklir internasional.
Potensi terjadinya hujan asam juga dinilai tidak mungkin. Menurut Zaki, dari ledakan yang terjadi, tidak ada zat asam
Kepala Bapeten As Natio Lasman menambahkan isu hujan asam ini kemungkinan muncul karena dikaitkan dengan penggunaan boron untuk mendinginkan reaktor yang masih panas pada saat dimatikan. ”Penggunaan boron ini menimbulkan asam borat dan ikut keluar saat terjadi ledakan,” katanya.
Asam borat tidak memiliki korelasi dengan terjadinya hujan asam. Asam borat justru banyak dimanfaatkan untuk industri kosmetik.
Zaki juga membantah isu bahwa untuk mencegah zat radioaktif masuk ke dalam tubuh adalah dengan mengoleskan Betadine ke leher. Isu ini dinilai tidak logis.
Salah satu zat radioaktif yang masuk ke tubuh adalah iodium-131. Zat ini menyerang kelenjar tiroid dan bisa menyebabkan kanker.
Cara untuk menetralkannya adalah dengan mengonsumsi iodium dalam jumlah banyak, seperti yang diberikan Pemerintah Jepang bagi warga di sekitar daerah radiasi. Makin banyak iodium yang dikonsumsi, konsentrasi iodium-131 dalam kelenjar tiroid akan berkurang sehingga kemungkinan zat ini terserap tubuh jadi lebih kecil.
Untuk berjaga dari kemungkinan masuknya zat radioaktif akibat ledakan PLTN Fukushima masuk ke Indonesia, Bapeten akan memantau kondisi udara dan air laut di Manado, Sulawesi Utara. Hingga kini Indonesia belum terpengaruh oleh paparan radiasi tersebut.