Tripoli, Jumat
Tentara melakukan pemberangusan di jalan-jalan Benghazi, kota terbesar kedua di Libya, seusai shalat Jumat. Tentara menghadang ribuan warga yang meneruskan aksi protes.
Demonstran juga menentang kekejaman tentara yang telah membunuh 24 orang pada bentrokan hari Kamis (17/2). Total korban tewas di Libya sejauh ini 50 orang sejak aksi protes merebak, menyusul kejatuhan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Kekerasan militer di Benghazi terhadap demonstran berlanjut hingga Jumat. Akibatnya, korban tewas bertambah.
Tindak kekerasan tentara juga muncul ketika membubarkan massa di Tripoli, Al Baida, Ar Rajban, Zintan, dan kota pinggiran Tripoli. Demonstran turun ke jalan dengan meneriakkan ”Bebaskan Libya, enyahlah Kolonel (Moammar Khadafy)”. Pemimpin Libya itu sudah berkuasa selama 41 tahun.
ABC News (AS) mengutip saksi mata yang menyebutkan, Khadafy diduga telah mengerahkan tentara Chad, tetangga Libya, untuk menghalau massa. Mohamed, saksi mata itu, mengatakan bahwa ia melibat demonstran yang terdiri dari anak-anak dan pemuda melompat dari jembatan Giuliana di Benghazi untuk menghindari serangan tentara.
Menurut Mohamed, aksi protes di Benghazi tak terorganisasi dan berlangsung spontan. Tidak ada wartawan radio, televisi, dan surat kabar yang meliput aksi yang memperlihatkan kebosanan terhadap kepemimpinan Khadafy. ”Kami tak mempunyai serikat, sindikat, dan partai politik yang menggalang gerakan. Semua berlangsung spontan untuk aksi Hari Kemarahan,” kata Mohamed.
”Ada 12 orang tewas,” kata Mohamed yang melihat serangan tentara di Benghazi, Kamis. Dia menambahkan, tujuh di antaranya tewas ditembak tentara.
Ibrahim Sahad, Sekretaris Jenderal Front Nasional untuk Kebebasan Libya, juga mengatakan, tentara menembak dari udara dengan helikopter.
Khadafy menjadi pemimpin Libya sejak 1 September 1969. Larangan peliputan oleh media serta pembatasan akses telepon dan internet menyulitkan orang menyebarkan krisis di Libya. Informasi hanya didapat dari YouTube.