Damaskus, sabtu
Kampanye yang digalang para aktivis prodemokrasi Suriah di berbagai jejaring sosial di internet sejak sepekan terakhir dimaksudkan untuk memicu aksi protes besar-besaran, seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Mereka menjadwalkan Jumat dan Sabtu kemarin sebagai
Perpaduan antara garis kebijakan pemerintah yang populer di kalangan rakyat dan tekanan represif dari aparat keamanan Suriah diduga menjadi penyebab gagalnya aksi ini.
Suheir Atassi, aktivis prodemokrasi Suriah, mengaku kepada Human Rights Watch bahwa ia didatangi petugas keamanan berpakaian sipil, yang menuduhnya sedang menggerakkan massa dan menjadi antek Israel.
”Dia menyebut saya bibit penyakit, marah-marah saat saya berani menyahut, dan akhirnya dia menampar saya dengan sangat keras dan mengancam
Aparat keamanan juga dilaporkan menahan Ghassan al-Najjar, ketua kelompok prodemokrasi Arus Demokratis Islam. Sekitar 20 aparat berpakaian preman juga dikabarkan memukuli para aktivis yang berkumpul di Damaskus pekan lalu untuk menyatakan sikap keprihatinan atas jatuhnya korban jiwa dalam krisis di Mesir.
Menurut Mazen Darwish, seorang wartawan yang sempat memimpin Pusat Media Suriah sebelum dibubarkan pada 2009, Suriah memiliki beberapa keunikan dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lain sehingga tidak rentan gerakan perlawanan rakyat.
Salah satu perbedaan utama Suriah dengan negara-negara seperti Mesir, Tunisia, Jordania, dan Yaman adalah sikapnya yang tidak mau bersekutu dengan AS dan terus menentang Israel.
”Itu semua memberikan kredibilitas kepada Pemerintah Suriah,” tutur Darwish.