Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan-jalan ke Kampung Orang Arab

Kompas.com - 14/12/2010, 10:44 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com — Sudah berapa kali Anda melewati kawasan Pekojan, Tambora, Jakarta Barat? Bisa jadi jawabannya adalah sudah sangat sering. Tapi, tahukah Anda kawasan ini dulunya adalah kampung orang Arab pada masa kolonial Belanda. Kala itu VOC menetapkan kebijakan Wijkstelsel, yaitu dengan menaruh orang di suatu kawasan berdasarkan etnis. Etnis Tionghoa dikumpulkan di Glodok, sedangkan orang Arab ditempatkan di Pekojan.

Komunitas Jelajah Budaya adalah salah satu komunitas yang beberapa kali mengadakan tur sejarah mengelilingi kawasan Pekojan. Di kawasan ini Anda bisa mampir ke beberapa masjid tua yang sudah ada sejak masa Pemerintah Hindia Belanda. Kartum Setiawan dari Komunitas Jelajah Budaya menjelaskan bahwa berdasarkan beberapa literatur, nama Pekojan berasal dari kata Khoja atau Kaja. Khoja adalah daerah di India yang penduduknya bekerja sebagai pedagang dan memeluk agama Islam.

Seorang peneliti Belanda bernama Prof Van de Berg melakukan penelitian mengenai kampung ini. Penelitian tersebut tertuang dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Di buku ini ia menyebutkan bahwa pada mulanya orang-orang Bengali atau Koja dari India yang bermukim di Pekojan. Akibat kebijakan Wijkstelsel, etnis Arab yang berasal dari Hadramaut atau Yaman Selatan mendiami Pekojan. Selain kebijakan Wijkstelsel, VOC juga memberlakukan politik Pasenstelsel. Dengan sistem ini, penduduk Pekojan yang akan ke tempat lain harus membawa kartu pas jalan.

Karena daerah Pekojan pada masa itu dihuni mayoritas penduduk Islam, tak heran banyak masjid tua bisa Anda temui di sini. Untuk melakukan tur menapak tilas sekaligus ziarah ke masjid-masjid kawasan ini, Anda bisa memulai perjalanan dari Fatahillah sebagai tempat strategis. Lalu Anda berjalan ke arah Sungai Kali Besar, kemudian melewati Pasar Pagi Lama dan tiba di Jalan Pejagalan. Tempat pertama yang bisa Anda datangi adalah Masjid Al Anshor.

Masjid Al Anshor

Masjid ini dibangun tahun 1648. Awalnya masjid ini hanyalah sebuah surau. Ada tiga buah makam di belakang masjid ini. Kisah tentang makam siapakah itu masih simpang siur. Kartum sempat bertanya kepada pengelola masjid bahwa ada kemungkinan mereka adalah orang India yang mendirikan masjid tersebut. Namun, untuk sejarah tertulis, belum ada catatan tentang mereka. Untuk mencapai lokasi ini, Anda harus melewati gang-gang kecil dan terletak di sudut gang.

Masjid Ar Raudah

Masjid Ar Raudah ini tadinya adalah tempat Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang berperan dalam penyebaran Islam. Beberapa pemuda Islam Pekojan yang mendirikan Jamiatul Khair pada tahun 1901. Pemerintah Hindia Belanda awalnya mencurigai perkumpulan tersebut. Namun, pada akhirnya mengabulkan permohonan Jamiatul Khair untuk diakui sebagai organisasi pada tahun 1905. Saat ini tempat berdirinya Jamiatul Khair kira-kira berada di Jalan Pekojan II. Bangunan masjid tampak bergaya campuran Betawi, Arab, dan Belanda. Jendela dan pintu dengan dua daun khas Belanda berpadu dengan teralis besi meliuk khas Betawi. Bahkan pengelola masjid dan masyarakat sekitar tidak tahu sejak kapan tempat perkumpulan tersebut berubah fungsi menjadi masjid.

Masjid An Nawier

Masjid ini merupakan masjid terbesar di Jakarta Barat. Bangunan yang berdiri tahun 1760 ini bisa menampung hingga 1.000 orang. Ciri unik masjid ini adalah menara yang menjulang setinggi 17 meter bagaikan mercusuar. Dulu pada saat teknologi pengeras suara belum ada, adzan dikumandangkan dari menara dan bisa terdengar di seluruh pelosok kampung.

Bandingkan dengan kondisi sekarang, yang walau sudah mengunakan pengeras suara pun adzan terdengar sayup-sayup. Kalah bersaing dengan polusi suara dari kendaraan Ibu Kota. Jika beruntung, Anda bisa naik ke menara tersebut dan melihat pemandangan kota Jakarta.

Keunikan lain dari masjid ini adalah 33 tiang yang terdapat di ruangan shalat sebagai simbol wirid setelah shalat lima waktu. Anda juga bisa menemukan makam Syarifah Fatmah binti Husein Alaydrus yang mendapat julukan "Jide" atau nenek kecil. Banyak orang datang khusus untuk berziarah ke makam tersebut. Di bagian mihrab masjid terdapat mimbar berukir dari kayu yang merupakan hadiah dari Sultan Pontianak pada abad ke-18.

Jembatan Kambing

Jembatan sempit ini membelah Kali Angke. Namanya terdengar aneh, tapi nama ini merupakan pemberian warga setempat sejak zaman dulu. Menurut cerita, kambing-kambing yang akan dikurbankan atau dibawa ke tempat penjagalan akan melewati jembatan ini terlebih dahulu. Anda bisa menemukan sebuah jalan bernama Jalan Pejagalan yang berada di dekat Pekojan. Sampai saat ini di samping kali masih terdapat pedagang yang berjualan kambing.

Masjid Langgar Tinggi

Jika berjalan sedikit dari Jembatan Kambing dengan menyusuri tepi Kali Angke, Anda akan menemukan Masjid Langgar Tinggi. Masjid tua ini terbuat dari kayu dan dibangun tahun 1829. Masjid sederhana dengan bentuk memanjang tersebut berada di lantai dua. Sementara di bawahnya terdapat deretan toko minyak wangi. Menurut Kartum, toko minyak wangi ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Pada masa itu para jemaah mengambil air wudu dari Kali Angke. Tentu saja saat itu airnya masih jernih.

Pada masa kolonial Belanda, di Pekojan hanya terdapat segelintir orang Tionghoa. Namun, kini mayoritas penghuninya malahan berasal dari etnis Tionghoa. Sebagian besar orang Arab sudah berpindah ke selatan, seperti daerah Tanah Abang dan Kwitang. Beberapa rumah di kawasan ini memang sudah bergaya modern. Tapi, ada pula rumah-rumah yang masih bergaya perpaduan Arab, Betawi, dan kolonial Belanda. Di dekat Masjid An Nawier terdapat deretan rumah-rumah yang masih bergaya Arab dan penghuninya berasal dari etnis Arab.

Salah satu peserta rombongan Komunitas Jelajah Budaya bernama Anna Anita mengaku tahu acara jalan-jalan tersebut dari Kompas.com. "Favorit saya sewaktu di Masjid An Nawier. Sayang tidak bisa naik ke menara," katanya.

Selain ikut dalam rombongan komunitas sejarah, Anda bisa juga berjalan kaki sendiri. Tapi, siapkan fisik Anda karena total perjalanan bisa mencapai 3 kilometer. Pilihan lain adalah dengan menyewa sepeda onthel yang banyak ditemukan di Fatahillah. Para pemilik onthel bisa menjelaskan sejarah tempat-tempat tersebut atau Anda bisa bertanya-tanya ke warga sekitar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com