Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parlemen Telah "Blokir" Jerusalem dan Golan

Kompas.com - 24/11/2010, 03:44 WIB

Kairo, Kompas - Knesset (parlemen Israel), Senin (22/11) petang, dengan 65 suara mengesahkan sebuah rancangan undang-undang yang kontroversial. Sebanyak 35 suara di Knesset menolak, tetapi tak mampu menghalangi pengesahan RUU menjadi UU itu.

Dengan keberadaan undang-undang (UU) tersebut, Pemerintah Israel harus menggelar referendum untuk meminta persetujuan rakyat soal penarikan Israel dari Jerusalem Timur. Dengan UU itu, Israel juga harus meminta persetujuan rakyat untuk mundur dari Dataran Tinggi Golan, yang direbut dari Suriah.

Otoritas Palestina menyebut tindakan Knesset merupakan provokasi terhadap hukum internasional.

UU awalnya diajukan anggota Knesset, Yariv Levin dari Partai Likud, yang justru dipimpin oleh Benjamin Netanyahu. Levin menegaskan, setiap kesepakatan damai, yang mengharuskan Israel mundur dari Jerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan, pemerintah harus mendapatkan persetujuan minimal 80 suara dari total 120 anggota Knesset. Jika gagal mendapat persetujuan itu, pemerintah harus meminta persetujuan rakyat langsung melalui referendum.

Israel menganeksasi Jerusalem Timur pada 1967 dan Dataran Tinggi Golan tahun 1981. PBB dan masyarakat internasional tidak mengakui aneksasi itu.

Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan, ”Pada suatu hari, jika kami harus mengambil keputusan (damai), rakyat Israel harus lebih dulu mendukung.”

Levin menyatakan, UU menegaskan bahwa kesepakatan damai harus menurut kehendak rakyat, bukan pemimpinnya.

UU itu mengamendemen UU sebelumnya, yang disahkan saat Netanyahu menjabat pada 1999. UU lama itu menegaskan keharusan penyelenggaraan referendum, tetapi tidak mengatur mekanisme pelaksanaan.

Tipu muslihat

Pemimpin oposisi Israel yang juga Ketua Partai Kadima, Tzipi Livni, sebelumnya menginstruksikan agar 28 anggota Knesset dari Partai Kadima menolak. Livni mengatakan, UU itu tidak memiliki hubungan dengan misi dan aspirasi rakyat, tetapi untuk memveto setiap keputusan pemerintah soal perdamaian.

Ketua partai kiri Meretz, Haim Oron, mengatakan, UU itu hanya sebuah tipu muslihat dari kubu kanan untuk menggagalkan upaya perdamaian.

Perunding senior PLO, Saeb Erekat, mengatakan, tindakan untuk mengakhiri pendudukan Israel tidak bergantung pada hasil referendum. Jajak pendapat selama ini di Israel selalu menunjukkan bahwa mayoritas menolak pengunduran diri Israel dari Jerusalem Timur.

Sementara itu, pada Senin lalu, Kementerian Pertahanan Israel mengumumkan untuk memulai pembangunan pagar kawat berduri sepanjang 250 kilometer di perbatasan Israel-Mesir.

Pemerintah Israel pada Januari lalu secara prinsip menyetujui pembangunan pagar keamanan di sepanjang perbatasan dengan Mesir, dengan dalih untuk mencegah penyusupan imigran ilegal Afrika, senjata, dan narkotika dari Mesir menuju Israel.

PM Netanyahu pada Oktober lalu mengatakan, problem penyusupan imigran ilegal lewat perbatasan selatan (Israel-Mesir) akan menjadi ancaman. Para pejabat Israel selalu mengingatkan soal ancaman negara akibat pergeseran komposisi demografi jika imigran gelap Afrika terus menyusup ke Israel melalui perbatasan dengan Mesir. Israel mengklaim, setiap bulan ada 1.000 imigran gelap Afrika yang menyusup. (mth)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com