Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harakiri dan Siri' Bugis-Makasar

Kompas.com - 27/10/2010, 02:33 WIB

”Saya merasa tertantang karena tak mudah meneliti siri’ yang berkonsep abstrak dan peka. Selain juga karena belum ada peneliti asing yang memfokuskan penelitiannya pada budaya siri’,” ungkapnya.

Uang naik

Sebelum terjun ke lapangan, Iwata memulai penelitiannya dengan tinjauan pustaka dan wawancara sejumlah narasumber yang memahami budaya siri’.

Setelah tahap awal penelitian selama enam bulan, ia memutuskan terjun ke lapangan. Ia memilih Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, sebagai lokasi penelitian tahap berikutnya.

Galesong, yang terletak sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Makassar, dipilih karena memenuhi beberapa persyaratan yang dibutuhkan, seperti bekas pusat Kerajaan Gowa-Tallo, adat istiadat masih dipertahankan, mendapat akses tempat tinggal, dan memiliki komunitas perantau.

Karakteristik masyarakat Bugis-Makassar yang terbuka membuat Iwata diterima baik di Desa Boddia, Galesong. Meski lebih banyak tinggal di rumah tokoh masyarakat, tak jarang dia tinggal di rumah warga. Ini demi mendapatkan gambaran konkret praktik budaya siri’ yang diterapkan warga pada prosesi pernikahan.

Warga Bugis-Makassar mengenal istilah ”uang naik” dalam pernikahan. Uang naik itu syarat yang ditetapkan keluarga mempelai perempuan yang wajib dipenuhi mempelai lelaki. Praktik budaya siri’ sering terjadi saat mempelai lelaki tak mampu memenuhi permintaan itu. Lelaki umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan.

Ada juga pasangan yang memilih kawin lari karena saling mencintai dan tak ingin terkekang adat. Kondisi ini sempat membuat Iwata tak enak hati karena khawatir penelitiannya menyinggung perasaan warga.

Para perantau

Warga bahkan memberi dia pakaian adat Bugis-Makassar dalam upacara adat Tammu Taunna Gaukanga Karaeng Galesong ke-248 di Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Ia juga terkesan dengan keikhlasan warga menerimanya. Warga umumnya menolak uang untuk biaya menginap dan pengganti makanan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com