Yogyakarta Kompas
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengemukakan hal itu saat menemui 74 imigran tersebut (bukan 85 orang sebagaimana diberitakan sebelumnya) di Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta kemarin.
”Apakah mereka dikategorikan imigran gelap atau hanya mencari suaka dan apakah Indonesia harus menyerahkan kepada negara mereka, lembaga tinggi PBB (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi/UNHCR) dan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) yang nanti berwenang menentukan,” ujarnya.
Di Indonesia, lanjutnya, saat ini terdapat 1.300 imigran. Mereka pergi dari negaranya karena alasan politik dan kekerasan di dalam negeri mereka serta ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Indonesia bukan negara tujuan, hanya disinggahi. ”Indonesia akan membantu,” katanya.
Dari 74 imigran yang ditangkap itu, 48 orang di antaranya adalah laki-laki, 14 perempuan, serta 12 anak-anak dan bayi. Yang berasal dari Afganistan 12 orang, sedangkan sisanya dari Iran.
Mereka ditangkap saat berada di kapal di wilayah Pantai Ngrenehan, Gunung Kidul. Untuk menuju kapal itu, dari Pantai Gesing, Gunung Kidul, mereka menggunakan perahu tradisional nelayan dengan cara menyewa.
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta Salman Faris, dari 74 imigran itu, baru 80 persen yang diinterogasi. ”Yang memiliki paspor hanya seperempatnya. Ada yang mengatakan dirinya wisatawan, ada juga yang mengatakan mereka keluar dari negaranya karena di negaranya ada gejolak dan kekerasan. Mereka bilang, tujuannya Australia,” kata Salman.
Tentang jumlah imigran yang berubah-ubah, Kepala Kepolisian Resor Gunung Kidul Ajun Komisaris Asep Nalaludin mengatakan, hal itu akibat ada salah hitung. ”Ada yang belum terhitung dan ada yang dihitung dobel,” ujarnya.
Tempat penampungan imigran tersebut adalah bangunan bekas kantor imigrasi. Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta yang digunakan saat ini terletak persis di sebelah bangunan karantina itu. Namun, tempat penampungan tersebut kurang aman. Itulah sebabnya, dua imigran sempat kabur.