Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Gunung Itu Bertaplak Awan

Kompas.com - 30/06/2010, 15:53 WIB

KOMPAS.com — Ketika awan putih menutupi permukaannya dan melambai ke bawah, Table Mountain benar-benar seperti meja bertaplak. Indah dilihat dari kejauhan, terutama karena awan menyelimutinya pada saat kota Cape Town di bawahnya berlangit cerah, tanpa awan, dengan matahari bersinar, menghangatkan tubuh pada musim dingin.

Orang bilang, tinggal di Cape Town tanpa menginjakkan kaki ke Table Mountain seperti makan sayur tanpa garam. Ada yang tak lengkap karena mereka menjadi sebuah kesatuan. Kota Cape Town praktis mengelilingi Table Mountain, gunung berbentuk meja—nyaris rata permukaannya jika dilihat dari kejauhan—yang merentang 3 kilometer dengan puncak tertinggi bernama Maclear’s Beacon di ketinggian 1.088 meter.

Perjalanan termudah naik gunung, dengan upaya fisik minimal, adalah dengan menumpang kereta gantung. Dengan tiket seharga 150 rand (Rp 178.000) atau 160 rand (Rp 190.000) jika membelinya dari internet, pengunjung bisa mencapai puncak gunung hanya dalam waktu 15 menit. Keuntungan membeli tiket lewat internet tak lain adalah terpangkasnya waktu antrean yang bisa antara 30 dan 45 menit.

Ide memasang kereta gantung ini bermula tahun 1790 setelah Lady Anne Barnard, seorang pendaki perempuan asal Cape Town, bersikukuh menginginkan ada perempuan yang berhasil naik Table Mountain. Ini berlanjut hingga dewan kota memutuskan untuk mengalokasikan 100.000 poundsterling ketika itu untuk pembangunannya, yang kemudian terhenti karena Perang Dunia I. Pembangunan berlanjut hingga peresmian kereta pertama tahun 1929, yang—dengan berbagai pembaruan kereta gantung—telah mengangkut 20 juta orang.

Dari puncak gunung yang mirip pelataran luas ini, pengunjung bisa menikmati pemandangan di bawahnya, sebaran kota Cape Town dengan latar belakang pantai dan lautnya, Samudra Atlantik. Camps Bay, Cliffton Bay, Sea Point, Three Anchor Bay, Green Point, hingga V& A Waterfront bisa diamati. Syaratnya satu, sedang tak ada awan menyelimuti. Dengan kata lain, sedang tidak ada angin dari arah tenggara yang langsung naik ke kaki gunung dan membentuk udara dingin dan kemudian kelembabannya memadat dan membentuk awan penyelimut meja.

Pengalaman akan menjadi benar-benar berbeda ketika Table Mountain bertaplak. Siang itu, pertengahan bulan Juni ini, cuaca berbeda sama sekali dari sehari sebelumnya. Di bawah, sepanjang perjalanan ke Table Mountain, kota Cape Town terang benderang dan terasa hangat. Suhu berkisar 19 derajat celsius. Namun, begitu saya memandang ke puncak gunung, ”taplak” tipis mulai menyelimuti. Saat kereta gantung bergerak naik—dengan cara berputar pada porosnya sehingga semua penumpang mendapatkan kesempatan melihat kota melalui jendela kaca 360 derajat—”taplak” itu makin menebal.

Begitu turun dari kereta gantung, yang pertama saya cari adalah termometer. Ternyata, hanya berjarak 1 kilometer di atas kota Cape Town, suhu udara lebih dingin 9 derajat. Pengunjung mulai mengancingkan jaket dan mengalungkan syal. ”Selamat datang di Table Mountain. Anda kedinginan. Silakan kancingkan jaket Anda,” begitu teriak beberapa petugas penyambut.

Sebagian besar pengunjung memilih berputar-putar dulu di jalur pejalan kaki yang telah dibuat oleh pengelola Taman Nasional Table Mountain. Ada tiga trek pendek yang dibuat dengan waktu tempuh putar antara 45 menit dan 1,5 jam.

Sambil berjalan berkeliling pelataran gunung, mereka bisa menikmati beberapa tanaman khas di kawasan itu, seperti protea, erica, restio, bahkan juga tanaman seperti watsonia dan disa yang biasanya ada di kawasan dataran rendah yang basah.

Trek itu dibuat seaman mungkin sehingga siapa pun yang berjalan di jalur itu tak bakal khawatir tersesat atau terjatuh ke luar dari pinggiran gunung. Di beberapa tempat, terutama yang berada di pinggir, dipasang semacam pagar penghalang. Pengunjung bisa melihat pemandangan kota Cape Town dari kejauhan dengan menggunakan teropong berbayar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com