Hani Ihlayyel, warga Palestina, yang terjebak di Gaza sejak kembali untuk kunjungan musim panas tahun 2006 adalah salah satu contohnya. Sejak terjebak, program pascasarjananya di Malaysia tertunda. Sarjana teknik komputer, alumnus sebuah perguruan tinggi di Kuala Lumpur, ini cemas. Dia berharap bisa keluar dari Jalur Gaza dan kembali ke Malaysia untuk meneruskan kuliah pascasarjana.
Blokade Israel telah memaksa Ihlayyel bertahan di Gaza. Dia termasuk di antara ratusan orang yang sedang antre untuk keluar. Dia menyia-nyiakan waktu selama 4 tahun dengan kerja serabutan, termasuk membeli dan menjual komputer.
Sekalipun Jalur Gaza memiliki sejumlah perguruan tinggi dan universitas, tetapi tidak cukup banyak yang memiliki bidang studi farmasi dan teknologi komputer.
Ihlayyel pernah beberapa kali mencoba keluar melalui Rafah, tetapi tidak pernah bisa mendapatkan dokumen perjalanan lengkap, termasuk izin dari pihak keamanan Mesir.
Adnan Mohanna (77), warga lain, berdiri di bawah terik sinar matahari di Jalur Gaza. Dia menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari Mesir soal perjalanan keluar Jalur Gaza. Dia tidak tidur demi mendapatkan kepastian itu.
Serangan Israel terhadap konvoi kapal misi bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza hingga sembilan relawan tewas, 31 Mei lalu, telah melahirkan harapan baru bagi Palestina. Dunia internasional mengecam insiden itu, yang juga membuat Mesir membuka blokade Gaza setiap hari. Sebelumnya Mesir membuka blokade hanya pada hari tertentu.
Bersamaan dengan munculnya kecaman terhadap Israel pascainsiden 31 Mei lalu, ratusan warga berbondong-bodong mencapai perbatasan. Sudah 3.000 warga menyeberang ke Mesir, Selasa (8/6). Adapun ratusan orang menyeberang pada hari Rabu. Pada Mei lalu, ketika Mesir membuka gerbang Rafah hanya beberapa hari dalam sebulan, ada 8.000 orang keluar Gaza.
Seorang pejabat di perbatasan menjelaskan, setiap hari ada 500 orang menyeberang ke Mesir. Hanya Mesir yang mau membuka blokade meski masih terbatas. Israel tetap bersikukuh tidak mau membuka blokade.
Eksodus warga itu dilukiskan berlangsung kacau. Jumlah bus, yang membawa warga penyeberang, amat terbatas. Pada hari Selasa, hanya ada empat bus ke Mesir.
Ratusan warga berdebat dan bertengkar dengan petugas Hamas. Hanya orang-orang dengan paspor asing, warga yang menetap di luar negeri, orang sakit yang memerlukan perawatan khusus di luar negeri, dan mahasiswa yang diterima di universitas asing boleh ke Mesir.