Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menganyam Angin dari Bethlehem ke Jerusalem

Kompas.com - 23/12/2009, 07:19 WIB

TRIAS KUNCAHYONO

KOMPAS.com - Setiap kali mendekati akhir tahun, setiap kali pula terlontar pertanyaan, kapan perdamaian di Timur Tengah, di tanah Palestina, di tanah para nabi, terwujud?

Pertanyaan itu, dari waktu ke waktu, terus berlari mencari jawabnya. Sementara itu, pertanyaan lain menyusul. Mengapa bumi, yang lebih dari dua ribu tahun silam menjadi tempat lahir dan berkarya para nabi, justru bersimbah darah. Mengapa wilayah yang memiliki arti penting bagi tiga agama samawi— Yahudi, Kristen, dan Islam—dengan tempat-tempat sucinya bagi ketiga abrahamik itu tak pernah sepi dari konflik?

Kutuk apa yang telah menjerat negeri yang disebut Tanah Suci itu? Kadang terpikir, apakah memang mereka yang terlibat konflik tidak menginginkan perdamaian?

Kedamaian dan perdamaian menjadi sesuatu yang sangat mahal. Kedua kata itu sangat mudah dikatakan, tetapi sangat sulit diwujudkan. Itulah sebabnya, Javier Perez de Cuellar (1988) ketika masih menjadi Sekjen PBB mengatakan, ”Perdamaian adalah sebuah kata yang mudah diucapkan dalam setiap bahasa. Sebagai Sekretaris Jenderal PBB, saya mendengarkan ucapan kata perdamaian berkali-kali dari begitu banyak mulut yang berbeda-beda dan dari sumber yang berbeda-beda pula sehingga kadang-kadang perdamaian bagi kami menjadi mantra umum yang sudah kehilangan maknanya. Lalu, apa yang kita maksudkan dengan perdamaian itu?” (Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, 2009).

Dalam bahasa lain, Dalai Lama mengatakan sembari menyodorkan prasyarat, ”Perdamaian bermula dari dalam setiap orang, dari hati setiap orang. Manakala dalam hati kita ada perdamaian, kita pun dapat hidup dalam damai bersama dengan orang-orang di sekitar kita, berbagi perdamaian dengan masyarakat di sekitar kita, dan sebagainya. Ketika kita merasakan cinta dan berbaik hati kepada liyan, hal itu tidak hanya membuat orang merasakan dicintai dan dipedulikan. Selain itu, hal tersebut juga membantu kita mengembangkan kebahagiaan dan kedamaian dalam hati.”

Di mana keadilan

Kedua pihak yang berseteru—Israel dan Palestina—pasti paham akan semua itu. Hanya saja, mengapa mereka tidak mau mewujudkannya? Apakah masih ada yang berkehendak baik di daerah itu untuk mewujudkan perdamaian? Ada!

Namun, Naim Srifan Ateek dalam bukunya, Justice and Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation, berpendapat perdamaian tidak pernah ada kalau tidak ada keadilan. Harus ada keadilan yang dikobarkan dengan belas kasih dan pengampunan.

Hal yang sama pernah dikemukakan Paus Yohanes Paulus II (1986) saat membahas tema no peace without justice, no justice without forgiveness. Tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan dan tidak akan pernah ada keadilan tanpa pengampunan. Karena di mana ada keadilan, di situ akan tumbuh damai sejahtera (Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir)

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com