Mengingat obat-obatan keras itu bersifat adiktif, pemakaiannya hanya boleh dalam jangka pendek. Apabila dikonsumsi dalam jangka panjang, dapat menimbulkan kecanduan dan membahayakan keselamatan jiwa pasien. Itu karena ambang sakit pada pasien akan makin tinggi sehingga dosisnya akan terus dinaikkan. Dalam praktik, obat-obatan itu tidak diberikan kepada pasien rawat jalan.
Risiko kesehatan
Belakangan pemakaian obat pereda rasa nyeri bukan golongan narkotik juga mulai diperketat. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), semua obat anti-inflamasi atau pereda nyeri berisiko menimbulkan gangguan pencernaan, kardiovaskular, dan reaksi pada kulit. Karena itu, FDA meminta semua produsen obat itu mencantumkan peringatan tentang risiko itu pada label produknya.
Hal ini diperkuat oleh hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal The Archives of Internal Medicine. Dalam hasil studi yang dilakukan para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital, Boston, AS, obat-obatan pereda rasa nyeri itu meningkatkan tekanan darah dan risiko penyakit jantung, terutama pada pria. Jadi, pria yang mengonsumsi obat penghilang sakit setiap hari selama seminggu akan terkena tekanan darah tinggi.
Dalam studi itu, sekitar 16.000 pria diamati riwayat kesehatan mereka. Mereka yang mengonsumsi parasetamol 6-7 kali dalam seminggu tekanan darahnya lebih tinggi daripada mereka yang bebas obat. Obat anti-peradangan nonsteroid (NSAIDS), seperti ibuprofen dan naproxen, risikonya naik 38 persen. Adapun pria yang minum pil NSAIDS 15 butir dalam seminggu risikonya 48 persen terkena hipertensi.
Obat-obatan itu memengaruhi kemampuan pembuluh darah melebar serta menyebabkan sodium retention, faktor yang meningkatkan tekanan darah. Karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan, termasuk untuk meredakan rasa sakit.