Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Gelas Teh Hangat Sadeli di Rafah...

Kompas.com - 15/01/2009, 06:16 WIB

Serba kusam

Sejak tahun 2000, Gerbang Saladin ditutup atas tuntutan Israel karena dianggap sebagai jalan untuk menyelundupkan senjata lewat Mesir ke Jalur Gaza. Mulai saat itu dibangun pintu lain untuk masuk Jalur Gaza. Namun, pintu itu juga ditutup berdasarkan kesepakatan internasional antara Israel, Palestina, dan Uni Eropa. Pintu hanya dibuka untuk para korban bom Israel, bahkan kini dijaga tentara.

Sejak agresi militer Israel tanggal 27 Desember 2008, tentara Mesir ditempatkan di Rafah. Setiap lorong atau jalan yang menuju ke tembok perbatasan, terutama ke Gerbang Saladin, dijagai tentara. Di setiap mulut jalan, dipasang barikade dan truk militer. Siang-malam mereka berjaga; melarang setiap orang—kecuali mereka yang tinggal di kawasan tersebut—melintasi jalan itu.

”Semakin banyak tentara di tempat ini sejak pesawat-pesawat tempur Israel membombardir seberang,” kata Sadeli.

Sadeli menceritakan, suara dentuman dan gelegar ledakan bom itu begitu jelas didengar dari tempat ia berjualan teh dan kopi. Karena jarak antara warungnya dan pintu gerbang itu hanya sekitar 300 meter. Bahkan, dari jarak 15 kilometer pun kepulan asap pekat yang mengangkasa dari ledakan bom terlihat.

”Saban hari kami melihat pesawat-pesawat Israel melayang-layang di atas kota ini. Setelah melepaskan bunga-bunga api yang di malam hari begitu indah, tetapi membawa kematian, pasti segera terdengar ledakan dahsyat. Asap pekat segera membubung ke angkasa. Entah sudah berapa kali hari ini. Banyak, tetapi kami sudah terbiasa,” tutur Sadeli.

Ismail, seorang sopir taksi yang berusia sekitar 50 tahun, menambahkan, ”Saya sejak kecil tinggal di daerah ini. Jadi, sudah begitu terbiasa mendengar suara ledakan bom, suara tembakan, dan merasakan tanah bergetar. Namun, kali ini Israel benar-benar keterlaluan. Ratusan orang tewas, ribuan luka-luka, ribuan orang mengungsi, dan bangunan-bangunan ambruk, hancur. Apa yang mereka maui.”

Israel memang bertindak di luar batas kemanusiaan. Ketika usaha damai terus dicari di meja perundingan antara para wakil Israel, Hamas, ditengahi Turki dan difasilitasi Mesir di Kairo sedang berlangsung, pesawat-pesawat tempur Israel tak henti-hentinya mengebomi kota-kota di Jalur Gaza, termasuk Rafah.

”Sampai kapan ya ini terjadi,” gumam lirih Ahmad, seorang pemuda usia 20 tahunan yang sama-sama minum teh di warung Sadeli. Ahmad bukan penduduk Rafah, tetapi dari daerah lain. Ia di Rafah kerja sebagai pembantu sebuah toko.

Pertanyaan Ahmad itu pula yang diajukan begitu banyak orang, tidak hanya di Rafah, tetapi di mana-mana. Kapan Israel menghentikan angkara murkanya?

Rafah, kota kecil yang belakangan ini begitu terkenal, disebut-sebut di seluruh dunia lewat televisi dan radio, ditulis di koran-koran dan majalah, didatangi puluhan bahkan mungkin ratusan wartawan dari berbagai pelosok dunia, menjadi saksi membabi-butanya Israel. Dan, Rafah tak mampu berbuat apa-apa. Ia tetap kota kecil yang kumuh, berdebu, dengan jalannya yang rusak dan berlubang. Bangunan-bangunannya pun kusam; sekusam masa depan perdamaian Timur Tengah.

”Terima kasih,” kata Sadeli, sambil tetap tersenyum walau semua serba tidak jelas dan kusam, setelah menerima uang teh hangat dan manis yang segelasnya Rp 1.500.

(Trias Kuncahyono/Mustafa Abd Rahman, dari Rafah, Mesir)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com