Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raih Laba dari Tempat Arak si "Drunken Master"

Kompas.com - 05/01/2009, 07:05 WIB

Dua tahun lalu, Undang Rohmat (32) diberi sebuah wadah minum dari ayah mertuanya yang tinggal di Garut. Bukan seperti kebanyakan wadah minum yang terbuat dari plastik, melainkan terbuat dari labu botol (holo) yang oleh Undang disebut labu kukuk.

Seperti julukannya, labu jenis ini memang mirip botol bulat. Berbeda dengan semangka atau labu siam, kulit labu botol cukup keras dan tetap mulus ketika kering. Inilah sebabnya labu ini bisa digunakan sebagai wadah minuman. Bagi penggemar film laga Mandarin, labu ini pasti tidak asing. Sebab, Jackie Chan menggunakannya saat membintangi film Drunken Master.  

Melihat bentuk labu yang unik, Undang pun tertarik. Terbersit niat untuk membuat benda serupa. "Saya hanya berjualan tanaman hias dan kelinci. Siapa tahu berjualan wadah minum dari labu kukuk bisa menambah penghasilan," kata Undang. Sayangnya, di sekitar tempat tinggal tinggalnya yakni Desa Gudang Kahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat labu semacam itu tidak ia temukan. "Di sini adanya labu siam atau labu warna kuning yang biasanya dimasak untuk kolak. Jadi saya cari ke rumah mertua saya di Garut," kata Undang.

Pertama kali membuat, Undang menggunakan buah labu yang belum tua benar. "Dalam proses pengerjaan, buah yang muda mudah membusuk. Kalaupun tidak, kulit kerasnya mudah pecah," kata suami Lilis Siti Khulsum (32) ini mendapat pelajaran. Kegagalan itu tidak membuat Undang putus asa. Ia pun kembali berkarya sampai bisa menghasilkan produk yang bagus.

Proses pembuatannya cukup lama. Dari mulai pengeringan, membuang isi, hingga melapisi dengan pernis bisa makan waktu tiga bulan. "Sebab, labu harus benar-benar kering. Kalau tidak bisa membusuk," kata Undang.

Untuk membuang isi, labu terlebih diisi air sehingga bagian dalam melunak. Setelah lunak, bagian isi dicungkil sedikit demi sedikit menggukan alat khusus . Untuk pengeringan, Undang menjemur labu di bawah sinar matahari. "Kendalanya adalah ketika musim hujan. Labu saya keringkan menggunakan api," ujar Undang.

Produk kerajinan ini ia pajang di kios tanaman hiasnya di pinggir jalan raya Bandung Lembang. Satu labu ia jual Rp 30.000 tanpa memperhitungkan ukurannya. "Sebab, labu besar atau kecil, kesulitan pembuatan sama saja," kata Undang. Selain pemasaran langsung, ada juga pedagang kerajinan yang mengambil dari Undang dan menjualnya di kawasan wisata Tangkuban Parahu.

Sebagai barang kerajinan, Undang mengaku tingkat penjualan wadah minuman ini tidak menentu. "Kadang banyak yang membeli, kadang hanya satu dua saja," kata Undang enggan menyebut angka.

Toh, Undang mengaku perekonomian keluarganya cukup terbantu dengan usaha kerajinan ini. Pernah ada pembeli dari Surabaya yang memborong semua labu yang dipajang. "Jumlahnya hampir 200 labu," kata Undang. Ia juga pernah mendapat pesanan labu yang dihiasi lukisan gambar naga. Namun, karena kerumitan, labu dengan hiasan hanya ia buat berdasarkan pesanan.

Sayangnya, tidak mudah bagi Undang untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar. Kendala utama adalah ketersediaan bahan baku. Maklum, ia masih mengandalkan labu dari luar Bandung, seperti Ciamis, Garut, dan Sumedang. Karena bukan tanaman utama, ia jarang mendapatkan labu dalam jumlah banyak. "Apalagi, kalau masih muda, labu ini enak dimasak untuk sayur," kata Undang.

Bapak satu putra ini sudah mencoba menanam labu kukuk di Lembang tetapi hasilnya tidak bagus. Biji memang mau tumbuh tapi hanya subur daunnya. "Kalaupun berbuah, sering busuk sebelum masak. Mungkin cuaca di sini kurang cocok," kata Undang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com