Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Ideologi dalam Komik Tintin

Kompas.com - 04/01/2009, 02:11 WIB

Dalam Tintin and The Secret of Literature (2006), setelah banyak lagi ”cacat etis” Herge disebut-sebut, Tom McCarthy mencatat kalimat lain Herge dalam pembelaan dirinya ketika harus menjawab pertanyaan Numa Sadoul dalam Entretiens, ”Kalau masinis membawa kereta api dianggap semua orang sebagai normal, kenapa wartawan (yang menjalankan tugasnya) dicap pengkhianat?” Menurut McCarthy, tentu saja ini merupakan pembelaan diri yang naif karena masinis atau tukang roti (dalam masa pendudukan Nazi) tidak secara aktif membantu penguasaan pikiran dan mengobarkan kebencian ras. Tekanan atas dosa ideologis ini menjadi resmi ketika Herge dimasukkan ke dalam daftar inciviles atau bekas kolaborator yang dijauhkan dari kehidupan publik sehingga menjadi persona non grata di negerinya sendiri.

Usaha Herge kemudian, selain melakukan berbagai ”koreksi” pada cetak ulang, bahkan tak pernah menyetujui penerbitan kembali Tintin di Tanah Soviet, dalam serial Tintin selanjutnya ia menegaskan netralitasnya tersebut. Dalam Tintin dan Picaros (1976), di antara konflik Borduria yang didukung komunis dan International Banana Company yang didukung Amerika, Tintin secara politis tidak berpihak. Diusahakannya revolusi berlangsung tanpa pertumpahan darah, tidak ada pergantian penguasa, dan tidak ada pula promosi demokrasi.

The Economist menyebutkan bahwa fokus kepada masalah hukuman mati adalah suatu pendekatan Eropa agar Tintin tetap menjadi ”orang yang kepercayaannya baik” seperti sebutan Herge kepada dirinya sendiri. Terdapat hubungan antara Herge sebagai manusia yang mengecewakan dan Tintin, tokoh kreasinya yang memerangi para despot dengan bernyali; yang bersumber dari rasionalisasi ketakberdayaan sebagai suatu keasyikan Eropa. Sejarawan in-house (apa pula ini?) Herge Studios, Charles Dierick, bahkan menghubungkan kebocahan Tintin dengan posisi Belgia sebagai negara kecil yang juga harus pandai-pandai membatasi keberaniannya.

Peta bumi politik dalam Perang Dunia II berpengaruh besar kepada Tintin karena naluri politis seperti yang juga terdapat pada sebagian besar Benua Eropa. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa dunia Anglo-Saxon memiliki kenangan yang berbeda atas perang yang sama, sebagai suatu peristiwa tragis yang tidak mempermalukan maupun mengingatkan atas ketakberdayaan. Jika pembaca atau penonton Anglo-Saxon mengharapkan dari tokoh fiksi mereka sesuatu yang lebih, yang bisa mengubah keadaan dan mengalahkan musuh jahat secara total, hal itu tak dapat diberikan Tintin. Namun, justru karena itulah, menurut The Economist, Tintin menjadi pahlawan yang ”sangat Eropa”.

Masihkah Tintin mendidik?

Dalam konteks Indonesia, menurut saya, analisis di atas berguna, terutama karena informasinya atas sejumlah perkara:

Pertama bahwa Eropa dan Amerika Serikat yang sering disatukan dengan sembarangan sebagai ”Barat” saja, ternyata sungguh-sungguh berbeda; bahkan secara politis tampak betapa Anglo-Saxon seolah bukan bagian dari Eropa. Sementara posisi Tintin yang dilahirkan di Belgia, tetapi menyesuaikan diri terhadap regulasi bacaan kanak-kanak Perancis, kiranya paralel dengan kegagahberanian Tintin yang selalu dibatasi kebijakan kelewat matang ala pramuka tersebut.

Kedua, mengingat mitos komik Tintin bagi para orangtua murid sebagai ”satu-satunya komik yang boleh dibaca” bagi putra-putrinya, maka catatan di atas mengingatkan betapa tiada bacaan kanak-kanak yang steril dari pembebanan makna ideologis. Seperti bisa dilacak, Tintin sempat terlihat bersikap rasis terhadap ”bangsa Afrika”, anti-Semitis, serta melecehkan kaum Bolshevik karena berada dalam atmosfer ideologi Nazi; sementara ketika memilih bersikap netral dalam representasi konflik ”kiri” dan ”kanan” pada masa pasca-Perang Dunia II, ternyata netralitasnya berada dalam pilihan politis dan ideologis suatu posisi ketakberdayaan.

Ketiga, bahwa komik mana pun, yang paling kanak-kanak dan paling ”mendidik” sekalipun, akan selalu merupakan representasi ideologi kelompok tertentu, yang tidak perlu ditakuti karena kanak-kanak tak mungkin tumbuh ”tanpa ideologi” sama sekali. Ideologi sebagai cara memandang dunia sangat beragam dan kanak-kanak sejak lahir langsung terjerat pluralitas teks dalam wacana sebagai himpunan gagasan dan praksis sosial budaya, yang tanpa terelakkan akan membentuknya sebagai subyek sosial di dalam—bukan di luar—dunia. Juga ketika penerbit Indonesia melakukan ”saringan ideologis” dalam proses penerjemahannya, penafsiran Indonesia atas sumbernya adalah bukti betapa teks mana pun mustahil menjadi ”suci hama”.

Justru mengerikan jika kanak-kanak dicetak sebagai proyek ideologis kelompok tertentu, dengan mengarahkannya agar selalu tertutup dari kekayaan budaya di dalam dunia—karena dari sanalah akan lahir monster picik yang membahayakan umat manusia.

Seno Gumira Ajidarma Wartawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com