Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/11/2012, 11:55 WIB
Iskandar Zulkarnaen

Penulis

KOMPAS.com — Sistem pemilihan presiden Amerika Serikat cukup unik. Bahkan sangat unik, melihat dari betapa tuanya sistem ini diterapkan di sebuah negara demokratis terbesar di muka bumi.

Saat berkunjung ke Amerika Serikat dalam rangka mengikuti program pertukaran International Visitor Leadership Program (IVLP 2012) selama Agustus-September 2012 lalu, saya menangkap kesan beragam terhadap sistem pemilihan presiden AS.

Beberapa warga setempat yang saya temui di lebih dari lima negara bagian mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Bagi masyarakat umum yang kurang memahami kompleksitas sistem pemilu, mereka menganggap pilpres di Amerika berlangsung demokratis. Setiap orang berhak untuk memilih pasangan capres yang diinginkan, juga berhak untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Namun, para pengamat dan akademisi di bidang politik yang memiliki pemahaman lebih seputar mesin pemilu di Amerika Serikat, termasuk bagaimana Electoral College menjalankan perannya sebagai penentu kunci presiden berikutnya, meyakinkan saya bahwa pelaksanaan pemilu di Amerika tidak sesederhana yang tampak di layar kaca atau di koran-koran.

Sebagian dari mereka menilai sistem pemilu tidak cukup adil karena kekuasaan rakyat dalam memilih presiden menjadi semu. Sementara sebagian lain menganggap mekanisme pemilihan presiden yang sudah berjalan sejak kemerdekaan Amerika Serikat ini sangat demokratis, bahkan sempurna. Tetapi, dengan catatan, sistem ini hanya cocok diterapkan di Amerika Serikat.

Langsung atau tidak langsung?

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sistem pemilu di "Negara Paman Sam", sebaiknya dimulai dengan menjawab pertanyaan, apakah rakyat Amerika Serikat memilih calon presiden mereka secara langsung atau tidak?

Bila menganggap pemilu di Amerika Serikat adalah pemilu langsung, Anda salah. Dan faktanya, di Amerika sendiri, banyak warga yang tidak sadar bahwa mereka memiliki persepsi yang salah seperti Anda.

Yang mereka tahu bahwa hari ini mereka mencoblos si A sebagai presiden, maka suaranya itu akan langsung diterima oleh si calon. Mereka tidak tahu kalau ternyata calon presiden pilihan mayoritas rakyat belum tentu menjadi presiden berikutnya.

Namun, bila Anda menganggap pilpres Amerika Serikat menggunakan sistem tidak langsung, jangan bayangkan sistem ini berjalan sesederhana pilpres Indonesia di era Orde Baru, rakyat memilih anggota DPR, lalu anggota DPR memilih presiden dengan cara musyawarah ataupun dengan pemungutan suara di gedung rakyat.

Bila Anda memiliki kesempatan berdiskusi dengan warga Amerika seputar sistem pemilihan presiden, niscaya mereka akan merasa iri dengan sistem pilpres Indonesia pascakejatuhan Orde Baru yang benar-benar dijalankan secara langsung.

Iri karena warga Indonesia benar-benar memilih calon yang mereka inginkan, sedangkan mereka seolah-olah memilih seorang kandidat secara langsung, tetapi secara teknis, presiden terpilih bukanlah pilihan mereka.

"Electoral college"

Pemilihan presiden di Amerika Serikat menggunakan sistem electoral college, yaitu sebuah sistem yang menjadi penentu akhir presiden berikutnya. Dalam sistem ini, presiden terpilih tidak diangkat berdasarkan pilihan rakyat lewat pemungutan suara di TPS, tetapi oleh electoral votes (suara pemilu) yang tersebar di 51 negara bagian.

Setiap negara bagian memiliki jatah electoral votes yang berbeda. Jatah ini ditentukan oleh banyaknya alokasi kursi Senat dan DPR yang dimiliki tiap-tiap negara bagian. Alokasi kursi Senat dan DPR sendiri bisa berubah berdasarkan populasi penduduk yang ditetapkan oleh sensus sepuluh tahunan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com