Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermotif Ekonomi dan Jauh dari Perang

Kompas.com - 05/10/2012, 09:05 WIB

Krisis Laut China Timur yang dilatarbelakangi tumpang tindih klaim kepemilikan Kepulauan Senkaku di antara China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan adalah tipikal sengketa wilayah dengan dua motif utama, yakni ekonomi dan strategi keamanan. Meski demikian, tidak seperti konflik-konflik wilayah di belahan dunia lainnya, krisis Laut China Timur terbilang unik karena meski ketegangan terus ada, pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara yang bertikai juga sangat pesat.

Makmur Keliat, pengajar Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menerangkan, konflik Laut China Timur, untuk motif ekonomi, yakni perebutan sumber daya hidrokarbon berupa minyak dan gas alam, fenomenanya hampir sama dengan konflik-konflik serupa di beberapa bagian dunia. Konflik bermotif ekonomi kecenderungannya meningkat akhir-akhir ini karena harga-harga energi semakin meningkat.

Awani Irewati, Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional LIPI, mengatakan, klaim China yang baru muncul pada tahun 1970-an, saat booming minyak dunia, menegaskan latar belakang kepentingan ekonominya. ”Bahkan, China memakai referensi hal-hal yang lebih kuno. Mereka kembali ke tahun 1403 yang menyatakan bahwa Kepulauan Senkaku adalah basis kegiatan perikanan China,” ujar Awani.

Namun, soal ikan bukan isu utama China. Menurut Awani, cadangan minyak dan gas bumilah yang membuat negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu habis-habisan melakukan klaim.

Meski diyakini sebagai konflik dengan latar belakang ekonomi, yakni sumber hidrokarbon minyak dan gas, potensi timbulnya perang terbuka di antara negara-negara yang bertikai terbilang kecil. ”Terlalu banyak biaya yang akan diemban,” tutur Makmur. Hal ini didasari alasan bahwa para negara bertikai tumbuh dalam sistem yang stabil.

”Mereka semua berkeinginan untuk jadi bagian dari kesepakatan-kesepakatan multilateral dan regional. Kalau mereka mengeskalasikan konflik, kemudian perang, dan kemudian tidak terkendali, apa untungnya?” ujar Makmur.

Senada dengan Makmur, Riefqi Muna, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, mengatakan, kemungkinan perang terbuka sangat kecil. Alasannya, pertama, ongkos yang harus ditanggung terlalu tinggi. Kedua, konsekuensi dari perang terbuka adalah terganggunya dinamika ekonomi di kawasan itu.

Riefqi mengutip Thomas L Friedman dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree soal teori busur emas sebagai penghalang terjadinya konflik. Busur emas merupakan simbolisasi logo McDonald’s, gerai makanan asal Amerika Serikat yang mendunia. Menurut Friedman, dua negara yang di dalamnya telah berdiri cabang McDonald’s tidak akan berperang. Alasannya, kehadiran McDonald’s menunjukkan negara itu telah mencapai pembangunan ekonomi memadai sehingga bisa menumbuhkan kelas menengah cukup kuat untuk menopang McDonald’s. Sebagai ”negara McDonald’s”, negara itu tak berminat untuk berperang.

”Jadi, akan dipertimbangkan cara-cara untuk menurunkan ketegangan dan memilih untuk menghindari terjadinya konflik militer terbuka,” kata Riefqi. (Joy/Doe/Fit)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com