KORNELIS KEWA AMA/SAMUEL OKTORA
Pu’u zili giu, zili meko da tere tolo dara sa ulu roro, sui o uwi.
Siba ghede ne’e go tanah meze. Peha ne’e go dhiri lewa ata tuka meda.
Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut, menyuguhkan pesona alam nan asri di bawah hamparan kaki Gunung Inerie (2.245 mdpl). Hamparan hutan kopi arabika organik dengan ketinggian 1 meter hingga 3,5 meter tersebar di beberapa titik di Kecamatan Golewa dan Bajawa.
Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, berasal dari kata bha artinya ’lembah’, ’kuali’, dan jawa artinya ’sejahtera’. Bhajawa: lembah kesejahteraan. Bajawa berada di lembah, diapit gunung dan bukit.
Kota itu dibangun pada 1958 sebagai onder afdeling Ngada bersamaan dengan pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memisahkan diri dari Provinsi Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur). Suhu udara 15-30 derajat celsius. Saat siang hari pun suhu udara tetap dingin.
Wilayah ini memiliki tradisi budaya dan adat-istiadat yang kuat, mendorong kehidupan masyarakat Ngada dijiwai tradisi itu. Reba, ritual adat terbesar, menjiwai seluruh ciptaan alam, pembaruan kehidupan, rezeki, dan kekuatan.
Di sekitar Gunung Inerie dikembangkan tiga jenis tanaman perkebunan tradisional, yakni kelapa, kemiri, dan kopi robusta. Pada 1990-an diperkenalkan cengkeh, cokelat, dan vanili, tetapi tidak berkembang.
Buku Masyarakat Tradisional Ngada yang ditulis Piet Orinbao SVD (1982) menyebutkan,