Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Geopolitik Pangan

Kompas.com - 14/10/2011, 01:58 WIB

Imam Cahyono

Setiap malam, satu dari tujuh penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Satu di antara empat anak di negara berkembang menderita kurang gizi. Mereka yang lapar lebih besar dari gabungan total warga Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.

 

Setiap tahun, wabah kelaparan merenggut nyawa lebih banyak ketimbang AIDS, malaria, dan tuberkulosis. Demikian fakta dari badan PBB, Program Pangan Dunia (WFP).

Namun, terselip kisah unik di balik krisis pangan global 2008. Cargill, Bunge, dan ADM yang menguasai 90 persen perdagangan gandum dunia membukukan kenaikan laba 86 persen, 77 persen, dan 67 persen. Supermarket seperti Tesco, Carrefour, dan Wal-Mart tak ketinggalan. Pada 2009, pendapatan Wal-Mart setara dengan akumulasi PDB negara berpenghasilan rendah, yakni 400 miliar dollar AS. Sementara Monsanto meraup dividen enam kali atau meningkat 200 persen sejak 2001. Tatkala jutaan penduduk bumi merintih kelaparan, segelintir korporasi raksasa mendapat durian runtuh.

Hantu Malthus

Pada 200 tahun silam, Thomas Malthus meramal, jika pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara ketersediaan pangan seperti deret hitung, wabah kelaparan dan kekacauan tak terelakkan. Kemudian pada 1968, Paul Ehrlich mengingatkan bom populasi akan terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an seiring laju populasi melampaui produksi pangan serta kelangkaan sumber daya lainnya. Beruntung, berbagai inovasi berhasil meruntuhkan prediksi itu. Lantas, ramalan Malthus mesti dikubur?

Pelan tapi pasti, dunia dirundung kelangkaan akut. Tanah dan air kian tergerus. Temperatur bumi naik. Cuaca di luar kebiasaan. Sementara populasi dan konsumsi membeludak. Setiap malam, ada tambahan 219.000 perut yang minta diisi.

Sejak krisis pangan global 2008, harga- harga masih melambung. Badan PBB FAO dan WFP memprediksi, krisis pangan yang telah menciptakan instabilitas politik di berbagai belahan dunia bakal terulang. Terbukti, krisis pangan 2011 telah menciptakan kerusuhan diikuti revolusi politik di jazirah Arab. Tumbangnya rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Khadafy di Libya adalah penggalan kisah dari negara yang menggantungkan 90 persen pangan dari impor.

Ancaman krisis pangan, diiringi resesi ekonomi dan melambungnya harga minyak bumi, membuat dunia makin rentan dalam ketidakpastian. Pangan menggelinding mendominasi konstelasi dan arsitektur politik global. Kompetisi untuk memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan menjadi kriteria penentu arah geopolitik global. Kelangkaan pangan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan masing-masing. Kampiun pangan seperti Rusia, Argentina, dan Vietnam ramai-ramai membatasi ekspor.

Kelangkaan sumber daya senantiasa terkait dengan suatu pilihan. Bagaimana membuat pilihan, keputusan, dan kebijakan dalam dunia yang penuh keterbatasan merupakan tindakan dan pilihan politik. Bukan sekadar bagaimana mengalokasikan sumber daya secara efisien, melainkan juga bagaimana sumber daya yang terbatas terdistribusi dengan baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com