Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Geopolitik Pangan

Kompas.com - 14/10/2011, 01:58 WIB

Benar apa dikatakan Olivier de Schutter (2011), ”hunger is not a natural disaster, it’s a political problem”. Kelaparan, rawan pangan lebih sebagai persoalan politik ketimbang masalah pertanian. Sumber utama kelaparan bukan kelangkaan, melainkan kebijakan. Bencana kelaparan bukanlah takdir yang tak dapat dielakkan, melainkan bergantung pada bagaimana pemimpin politik mengatasi skandal itu.

Diplomasi pangan

Orkestra tata kelola pangan global tak lepas dari campur tangan Bank Dunia, IMF, dan WTO. Liberalisasi ekonomi memaksa negara berkembang membuka pasar, sementara negara maju memproteksi dan menyubsidi petaninya. Hampir semua yang kelaparan adalah warga miskin, petani gurem di pedesaan yang menjadi pembeli produksi pangan. Sementara korporasi dan tuan tanah dianakemaskan dengan berbagai fasilitas dan bantuan.

Dibanding China dan India, Indonesia negara berkembang sangat liberal. Indeks Keterbukaan Ekonomi AS hanya 54 persen, sementara Indonesia mencapai 80 persen. Tatkala kita bangga mencapai swasembada pangan, saat bersamaan diiringi banjirnya barang impor. Setidaknya 65 persen kebutuhan pangan kita masih bergantung pada impor, seperti gandum, kedelai, susu, gula, daging sapi, dan garam.

Seperti kaset rusak diputar kembali, Indonesia merupakan negeri kaya yang rawan pangan. Peta ancaman kelaparan dan rawan pangan nyaris tak beranjak. Tahun 2009, 214 kabupaten dengan tingkat kemiskinan rata-rata dan 65 kabupaten dengan kemiskinan lebih dari 30 persen tersebar di Provinsi Papua, Maluku, NTT, NTB, dan Aceh. Dari total penduduk 237,6 juta jiwa, setidaknya 65,34 juta jiwa rentan rawan pangan atau 27,5 persen penduduk. Tak banyak inovasi kebijakan ditorehkan pemerintah. Paling banter kebijakan reaktif ala pemadam kebakaran.

Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang amat dibanggakan seperti Program Food Estate dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia secara kasatmata memihak korporasi besar. Investor lebih diprioritaskan pemerintah ketimbang petani.

Bagaimanapun, persoalan global harus dipecahkan secara global. Semangat liberalisasi kebablasan dalam kebijakan domestik tentu kontradiktif dengan agenda diplomasi Indonesia di kancah internasional. Ironis, sebagai inisiator dan koordinator kelompok negara G-33, kebijakan dalam negerinya justru mengikis ketahanan pangan dan menyengsarakan petani domestik.

Imam Cahyono Penggiat Lingkar Muda Indonesia; Fellow pada Paramadina Graduate School of Diplomacy

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com