Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Palestina dan Israel (4)

Kompas.com - 02/11/2010, 17:59 WIB

Wartawan Kompas Andi Suruji turut serta dalam rombongan lawatan Ketua Umum Palang Merah Indonesia Muhammad Jusuf Kalla ke Jordania, Palestina, dan Israel, 13-20 Oktober 2010 lalu. Banyak cerita menarik dalam lawatan tersebut yang dituliskannya secara bersambung. Selamat menikmati. * * *

Setelah melalui pemeriksaan, satu per satu anggota rombongan keluar ruangan. Beberapa pelintas batas, yang tampaknya seperti wisatawan,  agak heran melihat rombongan PMI itu mendapat perlakuan khusus, didahulukan pemeriksaan dokumennya. Di luar ruangan check point, staf Palestine Red Crescent Society (PRCS) sudah menunggu. Rombongan naik bus berukuran sedang, sementara JK naik jeep milik PRCS.

Hanya berselang sepuluh menit selepas pos imigrasi, ada dua pos pemeriksaan yang mesti disinggahi sopir untuk menunjukkan identitasnya berikut jumlah penumpangnya. Penumpang hanya memegang dua lembar kertas kecil yang diperlihatkan kepada petugas di dalam pos. Tidak ada komunikasi intensif.

"Mereka mengawasi kita, jangan-jangan ada penumpang selundupan," kata supir bus tersebut.

Paspor dan lembaran visa tidak diperiksa. Tetapi setiap kali ada penyetopan untuk pemeriksaan, dengan sigap pula kami mengeluarkan dokumen perjalanan itu dari kantong atau tas. Begitulah petunjuk yang kami terima dari staf PMI. Kami jadi paranoid.

Meski demikian, naluri kewartawanan saya sudah bergejolak ingin memotret setiap momentum, seperti halnya pemeriksaan yang berulang-ulang itu. Akan tetapi, sejak dari Jakarta sudah diwanti-wanti agar wartawan kooperatif, tidak terlalu mencolok menampakkan identitas kewartawanan. Pendeknya, anggap sajalah semua anggota rombongan adalah pengurus PMI. Jangan sampai hanya gara-gara memotret atau merekam dan tentara Israel tidak berkenan, lantas perjalanan menjadi terganggu. Apalagi rombongan ini dipimpin JK, yang nota bene mantan Wakil Presiden. Kalau terjadi masalah dalam perjalanan, bisa-bisa menjadi berita besar.

Tetapi dasar wartawan, saya tetap mencuri-curi kesempatan untuk memotret. Saya teringat pengalaman saya di Almaty, Kazakhstan, beberapa tahun lalu. Waktu itu saya hanya memotret dua gedung yang berdampingan. Satu gedung tua hampir rubuh dan satu lagi di sampingnya gedung baru. Naluri saya mengatakan foto itu pasti bagus untuk menggambarkan geliat pembangunan Almaty, ibu kota lama Kazakhstan, yang lebih modern. Namun, ternyata di dalam gedung baru itu berkantor Kedutaan Besar Amerika Serikat. Rupanya saya tertangkap CCTV, lalu “diinterogasi” dan bertengkar dengan petugas keamanan gedung.

Ketegangan sedikit terjadi ketika di pos ketiga. Dua orang tentara Israel yang kelihatan masih muda – umumnya tentara penjaga pos relatif berusia muda -- dengan senjata lengkap, menyetop kendaraan kami.  Salah seorang menghampiri sopir di sisi kiri mobil. Entah apa yang mereka katakan. Karena terjadi diskusi, tentara yang satunya lagi mendekat pula. Tetapi penjelasan yang diberikan salah seorang staf PRCS dalam bahasa Inggris jelas terdengar bahwa kami serombongan dengan mobil yang ditumpangi JK, yang sudah diperiksa terlebih dahulu dan telah melaju di depan. "Kalau tidak percaya, kamu bisa telepon mereka," ujar perempuan staf PRCS tersebut, dengan nada suara yang agak tinggi.

Tanpa bicara, tentara itu  melongok masuk ke dalam mobil dan menyapu semua wajah-wajah yang ada di dalam mobil. Tanpa kata-kata, apalagi sapaan ramah selamat datang misalnya. Dingin...! Hanya kepala tentara itu digelengkan lalu mundur selangkah, pertanda kami boleh melanjutkan perjalanan. Sopir mobil kami mengejar Jeep yang ditumpangi JK, dan akhirnya bisa menempel terus, tanpa diselingi kendaraan lain.

Tidak jauh dari pos pemeriksaan kendaraan dan penumpang serta dokumen perjalanan, di sisi kiri jalan terdapat jalan kecil dengan papan peringatan yang dicat merah. Kondisinya sudah lusuh, entah tahun berapa dipasangnya. Cat merahnya sebagai dasar papan peringatan itu mulai terkelupas, demikian juga cat tulisannya yang berwarna putih mulai terkelupas. Tulisan peringatan itu ditulis dalam tiga aksara, yakni Israel, Latin, dan Arab dalam bahasa Israel, Inggris, dan Arab. Bunyi peringatannya; “Military Zone -  No Entry”

Jelaslah bahwa kawasan itu merupakan wilayah kekuasaan militer Israel. Jalan yang membentang di samping papan itu tampak rata, membentuk semacam batasan, atau juga bisa semacam jalan untuk patroli perbatasan. Apakah di area itu sudah ditanam ranjau-ranjau sehingga jika ada orang yang masuk dan melewati kawasan itu bisa-bisa meledak. Atau sekadar peringatan “gertak” saja, padahal di bawah tanah itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa menjelaskan.

Beberapa kali kami melihat papan petunjuk arah menuju Jericho, Ramallah, dan Jerusalem. Kiri kanan jalanan yang mulus itu terlihat kawasan gersang, sesekali kami menjumpai pemukiman yang tidak terlalu banyak. Umumnya rumah bertingkat berbentuk kotak seperti rumah susun.

Kendaraan yang melintas di jalan raya, umumnya merek-merek Korea Selatan. Sesekali melintas Jeep buatan Amerika, atau Land Rover. Jarang sekali ada merek Jepang. Jalan raya semuanya mulus, berkelok-kelok, dan naik turun. “Ini kawasan perang tapi jalan rayanya mulus sekali. Di Indonesia yang tidak ada perang, jalan raya antarkotanya hancur,” batin saya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com